Sabtu, 03 Desember 2011

Ricci

misi Matteo Ricci di Cina



Misi Matteo Ricci di Cina
I.       Pengantar
Orang beriman yang telah dibaptis dalam Gereja dipanggil untuk mewartakan karya keselamatan kepada setiap orang. Gereja sebagai persekutuan umat Allah ikut di panggil untuk karya keselamatan demi keselamatan jiwa orang beriman. Karya pewartaan cinta kasih bukan melulu diartikan sebagai hal yang sifatnya teoritis, manakala orang menyetujui karya pewartaan itu melainkan orang dapat memahaminya dan sanggup melaksanakan cinta kasih tersebut dalam tindak-tanduknya.
Melalui konsili Vatikan II, dalam dokumen Ad Gentes menegaskan “kepada para bangsa, Gereja diutus oleh Allah menjadi sakramen universal keselamatan. Untuk memenuhi tuntutan hakiki sifat Katoliknya, mentaati perintah pendirinya, Gereja sungguh berusaha mewartakan Injil kepada semua orang”. Disini Gereja mulai membuka diri dan mengakui keberadaan setip agama sebagai suatu jalan kebenaran dan keselamatan. Gerejapun mulai mewartakan karya Allah dengan tidak menganggap diri sebagai satu-satunya jalan keselamatan, namun membangun suatu dialog sebagai sarana karya pewartan iman demi  keselamatan.[1]      
Agama Kristen telah diwartakan oleh para misionaris di Cina. Para misionaris tersebut telah meninggalkan jejak mendalam bagi perkembangan karya misi dan bagi perkembangan Negara Cina sendiri. Meskipun demikian, kesulitan terus mereka hadapi dalam karya pewartaan karena aliran kepercayaan Kong Hu Cu, Budha dan Taoisme sudah berakar dan berpengaruh besar di Cina, baik di bidang politik maupun kebudayaan. Bangsa Cina menganggap peradaban mereka sebagai peradaban yang tertinggi. Karena itu, suatu ajaran baru yang ingin dibawakan kepada mereka sulit untuk diterima. Mereka menganggap kebudayaan dari luar itu rendah. Filsafat Kong Hu Cu menghargai adat-istiadat yang diwariskan oleh para leluhur.[2]
Fransiskus xaverius bercita-cita mengabarkan Injil di Cina tetapi ia meninggal dalam perjalanan sehingga ia tidak sampai ke Cina. Setelah Fransiskus Xaverius, dua orang Yesuit yaitu, Michael Runggerius dan Matteo Ricci melanjutkan karya misi tersebut.
Metode yang dipakai Matteo Ricci adalah pendekatan kebudayaan. Ia mempergunakan keahliannya dalam bidang intelektual sebagai cara menarik perhatian golongan masyarakat tinggi. Ia belajar Hukum, Matematika dan astronomi di Roma, dan belajar Teologi di Goa. Ia melukis peta dunia dengan Cina sebagai pusatnya guna menjelaskan di mana Negara-negara Eropa dan Amerika, ia juga menyesuaikan diri dengan kebudayaan Cina, mempelajari Kong Hu Cu dan kesastraan Cina, menulis karangan-karangan mengenai Iman Kristen maupun Ilmu pengetahuan Eropa, mencari istilah-istilah bahasa asli Cina untuk menjelaskan konsep Kristen.
II.    Sekilas Tentang Matteo Ricci
   Matteo Ricci lahir di Macerata, Italia, pada tanggal 6 Oktober 1552 dari pasangan Giovanni Battista Ricci dengan Giovanna Angioleli. Ia berasal dari keluarga bangsawan dan salah satu keturunan bangsawan. Ayahnya bekerja dibidang pemerintahan sedangkan ibunya dikenal dengan seorang wanita yang disegani karena kesalehannya. Kedua orangtuanya mengharapkan agar Matteo Ricci yang meneruskan nama keluarga mereka. Kaena itu, ayahnya mengirim Ricci mengikuti neneknya Laria. Di sana ia mengisi masa kecilnya degan membaca dan menulis dalam bahasa Latin di bawah bimbingan Nicolo Bencivegni yang adalah seorang imam Diosesan. Kedekatan inilah yang menumbuhkan bibit panggilan dalam hati Ricci. Ricci sangat terkesan dan tertarik akan pengalaman baik dari sang Imam dan mempunyai niat untuk menjadi Imam. Namun, pada tahun 1559 Pastor Nicolo meninggalkan Matteo Ricci. Matteo Ricci pada akhirnya dibimbing oleh Imam-Imam dari kongregasi Serikat Yesus. Dibawah bimbingan para Yesuit, Ricci mulai meyempurnakan bahasa Latinnya sekaligus mulai belajar bahasa Yunani. Ini merupakan langkah awal bagi Matteo Ricci dalam menanggapi panggilan sebagai seorang Yesuit[3].
Pada tahun 1571, Matteo Ricci diterima dalam kongregasi Serikat Yesus oleh Valignani selaku wakil magister di Roma. Valignani rupanya menaruh simpati yang besar kepada Ricci dan itu terbukti ketika mereka menjadi rekan misionaris di Cina. Sebagai pelajar di Roma, ia dengan cepat menguasai ilmu Matematika dan ilmu hukum. Di samping itu, dia juga mempunyai bakat dibidang praktis dan dapat membuat banyak hal, dari jam surya dan bola bumi dan alat-alat  mesin. Dia juga mengalami kemajuan dalam bidang bahasa dan dapat menjalin persahabatan dengan orang-orang terpelajar dan orang-orang luar.<v_Qj /K=<otnoteReference">[4]
Sebelum memulai karya misinya di Cina, Ricci mulai mempersiapkan diri dengan mempelajari  bahasa, budaya dan sistem pemerintahan bangsa Cina di India. Pada 31 Juli 1580 ia ditabiskan menjadi imam di Cochin, India Selatan[5].
Matteo Ricci adalah sosok seorang tokoh yang berhasil dalam menjalankan misi Kristiani khusunya di bangsa Cina. Ia sangat terkenal dipanggung sejarah pewartaan. Setelah menyelesaikan misi pewartaan dan karya-karyanya yang lain, salah satunya menyusun katekismus (16 pasal). Matteo Ricci mengakhiri hidupnya pada tanggal 11 Mei 1610.[6]  
III.       Kebudayaan Masyarakat Cina
   Wilayah geografis Cina sebagian besar terdiri atas banyak pegunungan, sungai, dan danau. Melihat keadaan geografis tersebut dapat disimpulkan bahwa negara Cina adalah sebuah negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah. Keadaan geografis yang demikian sangat memungkinkan untuk hasil pertanian di Cina yang sebagian besar wilayahnya adalah dataran. Keadaan ini membuat orang Cina memandang negeri mereka sebagai pusat semesta alam. Konsekuensi dari keyakinan tersebut adalah percaya akan Dewa-Dewi[7] sebagai pengatur peristiwa alam semesta.[8]
Pendidikan dan kebudayaan yang diwariskan oleh para leluhur merupakan hal yang sangat dijunjung tinggi oleh  masyarakat Cina pada saat itu. Mereka berhasil membangun sistim pemerintahan dan struktur kemasyarakatan yang khas. Tata kehidupan yang demikian membuat mereka]M 򰞓c+hutuhan hidup mereka. Dengan demikian, mereka bisa meluaskan kekuasaannya dalam bidang ekonomi, politik dan budaya.
3.1   Sistem Pemerintahan
Pemegang kekuasaan tertinggi negara Cina adalah Kaisar. Kaisar dianggap sebagai keturunan dewa. Masyarakat Cina sendiri menyebut Kaisar sebagai Thien-Chu yang artinya “putera surga’. Bentuk pemerintahan formal negara Cina pada adab ke XVI adalah monarki. Artinya, peralihan tahta kerajaan dilaksanakan secara turun-temurun dan bukan dengan pemilihan umum. Adapun struktur pemerintahan negara Cina dibagi atas dua yakni kuria pusat dan provinsi-provinsi. Kuria pusat terdiri atas beberapa deparKnc 4F%U:ctyle="mso-bidi-font-style: normal;">Li-pu, (departemen kehakiman), Ho-pu departemen keuangan, Ly-pu (departemen keagamaan), Pim-pu (departemen pertahanan dan keamana), Cum-pu (departemen tenaga kerja dan perumahan rakyat), Him-pu (departemen kepolisian). Sedangkan, provinsi diperintah oleh gubernur. Disamping itu, ada dua pengadilan yakni Pucinsu (pengadilan umum) dan Naganzafu (pengadilan kriminal). Disetiap pengadilan terdapat Tauli yakni semacam perkumpulan para pengacara.[9]
Kaisar adalah Putera Surga. Karena itu, tidak semua orang bisa melihatnya secara langsung. Hanya orang-orang yang bertugas sebagai pemimpin suatu departemen yang bisa menghadap dan menatap secara langsung wajah Kaisar.[10]
3.2    Adat Istiadat
Saling menghormati merupakan hal sangat ditekankan dan diwajibkan dalam budaya Cina. Penghormatan yang terutama ditujukan kepada orangtua dan kepada semua orang, baik yang dikenal maupun yang belum dikenal. Sikap hormat yang ditunjukan ialah, tangan ditangkupkan dalam sikap menyembah disertai dengan ucapan Zin-zin (salam khas masyartakat Cina). Setelah melakukan hal tersebut mereka menghadap ke daerah Peking, lalu bersujud. Hal ini dilakukan sebagai simbol tempat Putera Surga bersemayam.
Dalam berbicara mereka tidak menggunakan kata ganti orang pertama dengan maksud, menghindari keinginan menyombongkan diri. Dengan demikian, mereka lebih mengutamakan sikap rendah hati dihadapan orang lain. Selain itu, dalam perkawinan, seorang laki-laki mendapat hak yang istimewa karena ia boleh memiliki banyak istri. Bagi seorang Raja, ia boleh mempunyai banyak selir, namun harus tetap mempunyai permaisuri dengan tujuan untuk melahirkan Putera Mahkota.[11]
3.3         Pendidikan
            Kebudayaan Timur[12] memiliki perbedaan yang sangat mencolok dengan kebudayaan Barat. Kebudayaan Barat sangat mengagungkan ratio. Rasio dijadikan sebagai kekuatan untuk mengetahui realitas dan menguasai alam dan segala isinya. Sedangkan, kebudayaan Timur memiliki ciri khas tersendiri yakni penekanan akan unsur intuisi, kerohanian, perasaan dan hati dalam melihat dan menilai realitas yang ada. Unsur-unsur ini akan menghantar manusia pada pemeliharaan dan kesucian diri. Dengan kata lain, sifat khas Kebudayaan Timur adalah mencari pengetahuan ke dalam (batiniah) demi memperkaya kerohanian diri.[13] 
Ilmu pengetahuan tidak terlepas dari bahasa. Bahasa Cina (Mandarin) merupakan  satu kekhasan bagi bangsa Cina sendiri. Orang-orang asing yang berdomisili di daerah Cina merasa kesulitan dalam mempelajari bahasa, karena tidak hanya tahu ucapannya saja melainkan harus mampu dalam tulis-menulis. Selain itu, mereka lebih menekankan suatu filsafat praktis, yakni filsafat moral (etika) dari pada pengetahuan rasio. Ajaran-ajaran tersebut disampaikan kepada kaum muda dalam bentuk pepatah dengan tujuan agar mereka lebih mudah memahami dan merasa tertarik untuk mempelajarinya. Hal ini terungkap dalam pandangan filsafat Konfusius. Tulisan-tulisan Konfusius menjadi pedoman bagi masyarakat Cina dalam kehidupan sehari-hari. Tulisan tersebut prinsip-prinsip untuk hidup baik dan rukun dalam masyarakat. Selain itu, ada juga aturan-aturan dan tata cara dalam mengatur negara dan adat istiadat dengan bijak.[14]
3.4    Religiusitas
a. Konfusianisme
      Aliran ini dapat dikategorikan sebagai suatu sistem pemikiran filsafat dari pada suatu bentuk religius atau agama, karena di dalam aliran tersebut tidak diajarkan bentuk-bentuk devosi atau ibadat melainkan perintah-perintah moral. Konfusis (K`ung-Fu-Tzu) sebagai pendiri Aliran ini sekaligus sebagai seorang pemimpin, ia harus memiliki keutamaan-keutamaan seperti perikemanusian (Jen). Keutamaan tersebut meliputi beberapa hal, misalnya cinta kasih, kelembutan, dan kemurahan hati serta berlaku adil dan jujur.[15]
b. Taoisme
            Aliran ini timbul sebagai suatu terhadap ajaran Konfusianis yang sangat menekankan hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, mereka lebih terarah pada hidup meyendiri sehingga mereka dapat menjalani hidup kesederhanaan. Tentunya dengan cara tersebut mereka dibantu untuk lebih memaknai arti hidup.[16]
c. Buddhisme
[17] 
IV.  Misi Matteo Ricci
            Abad XV-XVI dikenal dengan zaman reanisance dan bangkitnya humanisme di Eropa. Masyarakat Eropa yang selalu menganggap diri sebagai bangsa yang unggul, mulai membuka diri dan mengakui keberadaan bangsa yang lain. Abad ini juga ditandai dengan penemuan benua Amerika oleh Colombus pada tahun 1541-1506 dan eksplorasi Vasco da Gama ke India. Selain itu juga, perluasan kekaisaran Spanyol dan Portugal. Perluasan kekaisaran ini dilihat sebagai salah satu jalan untuk mewartakan iman Kekristenan kepada mereka yang belum tersentuh oleh iman kekristenan.[18]
Situasi yang demikian digunakan oleh Fransiskus Xaverius dan teman-temannya sampai pada Matteo Ricci untuk mewartakan iman Kristen di Asia, khususnya negara Cina. Bibit iman Kristen yang telah ditabur oleh para misionaris di Cina mulai tumbuh dan berkembang pada masa Matteo Ricci.
4.1    Motivasi Misi
Kegiatan misioner gereja pada abad XV-XVI dilatar belakangi oleh pemikiran bahwa “diluar Gereja tidak ada keselamatan”. Selain itu, misi Gereja pada abad XV-XVI juga sangat berkaitan erat dengan kekuatan ekspansi ekonomi dan politik bangsa-bangsa Eropa, khususnya Spanyol dan Portugis. Perjanjian “Tordesilas” yang dilaksanakan pada tanggal 9 juni 1494 membahas persoalan mengenai penguasaan daerah jajahan oleh Spanyol dan Portugis. Perjanjian ini dipertegas kembali oleh Paus Alexander VI dalam bula Padroado yang dalam bahasa Portugis berarti  “Raja sebagai majikan, pelindung dan Gereja”. Isi dari bulla tersebut yaitu membawa bangsa-bangsa yang mendiami pulau-pulau dan benua yang ditemukan oleh Spanyol dan Portugis kepada iman Kristen. Ada tiga misi yang diemban oleh Portugis dan Spanyol yakni berdagang, menaklukan wilayah dan menyebarkan agama. Juga ditegaskan, kepada bangsa-bangsa yang mendiami pulau dan  benua yang ditemukan, Gereja mengutus kehadapannya orang-orang bijaksana, tulus, saleh dan berbudi baik yang sanggup memberi pengajaran mengenai iman Katolik kepada bangsa-bangsa pribumi.[19]
Pada tahun 1577, Matteo Ricci memulai tugas perutusan sebagai misionaris di Cina. Pada bulan Maret 1578 ia berangkat ke India bersama dengan temannya, Ruggieri dan berlabuh di Goa India. Matteo Ricci mulai memikirkan tugasnya dan ingin mendekati orang-orang sederhana untuk mewartakan injil. Cara ini dianggap paling tepat olehnya dan akhirnya diterapkan dalam pewartaannya sebagai misionaris.[20]
Situasi Gereja pada abad XV-XVI yang sangat menaruh perhatian pada kegiatan missioner ada karena anggapan bahwa diluar Gereja tidak ada keselamatan, merupakan alasan utama kedatangan Matteo Ricci di Cina. Ia ingin membawa bangsa Cina kepada kepada Kristus dalam persekutuan dengan Gereja melalui pembaptisan. Akan tetapi, tidak mudah merealisasikannya tujuan kedatangannya tersebut. Latar belakang  pemikiran bangsa Cina bahwa merekalah bangsa yang berkebudayaan tinggi dan sukar menerima pengaruh kebudayaan bangsa yang lain menjadi titik persoalannya.[21]
4.2    Metode Pendekatan
Matteo Ricci sadar bahwa untuk memulai karya misinya di Cina, ia harus terlebih dahulu belajar bahasa dan budaya setempat agar pewartaannya mudah diterima. Setahun belajar teologi di Goa karena sakit, maka ia dipindahkan ke Cochin di India Selatan. Sementara itu, Ruggieri yang bertugas di Macao mengalami kesulitan dalam mempelajari bahasa Cina sehingga ia meminta agar Matteo Ricci dikirim ke sana untuk menemani dia.[22]
Pada tahun 1582 Matteo Ricci dan Francesco Pasio berlayar menuju Macao. Di sana Matteo berjumpa dengan Valignano yang menegaskan keyakinannya akan misi ke Cina kendati dahulu Fransiskus Xaverius “gagal” memasuki daratan Cina. Matteo Ricci yakin bahwa suatu saat bangsa Cina pasti dapat dibawa kepada Kristus. Akan tetapi, metode yang dipakai haruslah sesuai dengan situasi daerah setempat, jika tidak bangsa Cina akan sulit untuk menerima kristus. Metode pendekatan yang dirintis oleh Ricci dapat bagi dalam beberapa bagian yaitu:
4.2.1  Pendekatan Kontekstual
Pengetahuan akan bahasa dan  budaya suatu daerah akan memudahkan seseorang untuk masuk dan diterima oleh masyarakat daerah setempat. Karena itu, Matteo Ricci sadar bahwa hal pertama yang harus dilakukannya ialah mempelajari bahasa dan budaya Cina.
Pada tahun 1508, Matteo Ricci Riggueri  tiba di Macau. Di sana, Ricci mulai belajar bahasa dan tulisan Cina. Disana, Ricci lebih memperdalam bahasa dan budaya Cina, dan dalam waktu tiga bulan, ia berhasil menguasai bahasa dan tulisan Cina. Setelah mempelajari bahasa dan budaya Cina, Rugieri dan Ricci berangkat ke Zhaoqing. Upaya untuk mempelajari bahasa Cina, sangat bermanfaat bagi Ricci. Ia dikemudian hari dapat menuangkan pengetahuannya tentang kesussastraan dan filsafat jika mengadu argumen membela Kristianitas. Kaisar Wan Li yang berkuasa pada waktu itu, sangat mengaggumi kemampuan intelektual Ricci. Karea itu, Ia mengijinkan Ricci dan Ruggieri untuk tinggal menetap di Zhaoqing.[23]
Matteo Ricci pada awalnya mengikuti cara hidup dan ajaran Budhisme sebagai pintu masuk bagi Kekristenan yang dibawanya. Mereka berpakaian abu-abu layaknya seorang biarawan Budhis. Di saat itu juga ia mengganti namanya menjadi Li Ma Tou. Adaptasi ini dilakukannya selama ± 6 tahun. Akan tetapi, dalam refleksinya ia melihat bahwa alasan kemandekan dalam bermisi selama ± 6 tahun ialah adaptasi yang ia lakonkan saat ini. Karena itu, Ricci mencari jalan lain dengan menggantikan posisinya dari pertapa Buddhisme menjadi cendikiawan Konfusian. Alasannya memilih Konfusian berhubungan dengan situasi masyarakat yang bingung dengan ajaran ayang dibawa oleh aliran Neo-Konfusian. Aliran neo-Konfusian terlalu bebas menafsirkan ajaran asli Konfuasian dan penafsiran mereka justru menjurus kedalam bentuk behala-berhala.[24]
Pedekatan itu akan mudah diterima, jika Ricci melebur dalam kebiasaan hidup para cendekiawan Konfusian. Ricci mulai memakai pakaian layaknya seorang cendekiawan Konfusia. Ricci dapat menyamakan dirinya dengan para pejabat dan berada dalam lapisan tertinggi masyarakat Cina. Perubahan yang dilakukan Ricci ini menimbulkan rasa simpati para pejabat dan memberi kesan bahwa Ricci mampu menguasai tradisi di Cina.[25]
4.2.2        Pendekatan Ilmiah
Dengan pendekatan ini, Ricci mulai menjalin relasi yang baik dengan para petinggi negara Cina. Hal ini memudahkan Ricci untuk mengarahkan masyarakat kepada iman yang benar. Melalui metode ini, Ricci tampil sebagai seorang guru dan berhasil menarik hati orang-orang Cina masuk ke dalam institut gereja secara perlahan-lahan. Ricci, juga berperan sebagai seorang murid yang setia mendengarkan, maka hubungannya dengan para pemimpin di Cina semakin hari semakin erat. Dengan memilih Konfusianisme, Ricci dapat masuk ke dalam budaya masyarakat Cina sehingga ia berhasil mewartakan injil sekaligus menjala manusia masuk dalam pangkuan Gereja.[26]
            Ricci mulai dikenal oleh masyarakat Cina sebagai orang bijak dari barat. Ungkapan orang bijak diberikan kepada Ricci karena kemampuan intelektual dan berelasi yang ada dalam dirinya.
a.      Menterjemahkan Katekismus
            Pengetahuan Ricci akan bahasa dan budaya Cina, sedikit mempermudah penyebaran agama Katolik di Cina. Penerjemahan ajaran agama Kristen dalam bahasa Cina merupakan salah satu media pewartaan yang akurat pada saat itu. Ricci dan Ruggieri menerjemahkan Sepuluh perintah Allah. Karya ini diterima baik oleh orang-orang Cina karena sarat dengan ajaran moral. Keberhasilan ini mendorong Ricci dan Ruggieri untuk menerjemahkan lagi doa Bapa kami, salam Maria dan Aku percaya.[27]
            Pada bulan Nopember 1584, Ruggieri dan Ricci telah berhasil menyusun Tien Chu Shih-lu (katekismus) dalam bahasa Cina, sebanyak 16 pasal. Tien Chu Shih-lu ini disambut baik karena erisikan tanya jawab antara murid dan gurunya. Akan tetapi, Selama membuat katekismus, Ricci juga mengalami kesulitan dalam mencari padanan kata dalam bahasa Cina untuk terminologi Kristen, agar tidak disalah artikan. Misalnya, Ricci menerjemahkan Allah ke dalam bahasa Tionghoa dengan sebutan T’ien Chu.[28]
b.   Membuat Peta
            Seorang ahli Geografi Cina, Li-Chih-Tsao merupakan teman karib Matteo Ricci. Li-Chih-Tsao mengetahui keterampilan dan kepandaian Ricci dalam berbagai bidang, dalam konteks ini ialah Geografi. Pada tahun 1565-1630, Li-Chih-Tsao meminta Ricci untuk membuat peta seluruh dunia. Peta bagi bangsa Cina sangatlah penting. Kita tahu bahwa bangsa Cina sangat kaya akan hasil bumi dan sutera. Karena itu, mereka sering bepergian ke daerah lain untuk menjual hasil bumi dan yang lebih dikenal ialah sutera. Untuk mengetaui letak daerah-daerah yang akan dikunjungi mereka harus memiliki peta. Dengan demikian, mereka akan lebih mudah membuat rancangan perjalanan yang tepat dan cepat.[29]
Para cendekiawan Cina yang berdiskusi bersama Ricci dalam suatu pertemua, melihat bahwa peta buatan mereka kurang sempurna. Sebaliknya mereka melihat peta buatan Riccilah yang lebih terperinci. Karena itu, gubernur Wang-Pan yang memerintah pada saat itu meminta Ricci untuk menterjemahkan keterangan-keterangan yang terdapat dalam peta kedalam bahasa Cina dan menyebarkannya kesetiap pejabat Cina. Peta tersebut diberi judul y’u-ti shan ch’uan-tu (peta lengkap bumi, gunung-gunung dan lautan). Penyebaran peta ini menjadi bukti bagi orang Cina bahwa orang-orang yang berkebudayaan Eropa juga memiliki kebudayaan dan pengetahuan yang tinggi.[30]
4.2.3        Pendekatan Religius
Pendekatan ini membahas tentang titik-titik persamaan ajaran Konfusian dengan Kekristena yang ditemukan oleh Ricci. Matteo Ricci berusaha menggali kekayaan pengalaman religius yang terdapat dalam Konfusian[31]. Dengan demikian, ia dapat membangun dan menemukan metode pewartaannya. Pendekatan yang demikian tidak berarti bahwa ia tidak menemukan kendala dalam pewartaannya. Beberapa pokok ajaran Kristen yang diwartakan Ricci dengan merujuk pada ajaran Konfusian yaitu:
a.      Surga
Surga bagi orang Kristen digambarkan sebagai tempat kediaman Allah dan para malaikat atau suatu keadaan bahagia bagi orang-orang yang meninggal dalam Kristus. Konsep surga bagi orang Cina diungkapkan dengan kata T’ien. T’ien adalah gambaran situasi teratur atau keseimbangan antara yang kodrati dan adikodrati. Ajaran tentang surga menunjuk pada kehidupan sesudah kematian. Konsep inilah yang sulit diterima karena bangsa Cina tidak percaya akan kehidupan sesudah kematian.[32]
Berhadapan dengan situasi ini, Ricci menjelaskan sesuai dengan cita rasa bangsa Cina yang lebih menekankan perbuatan dari pada pengolahan logis-rational. Ricci mengatakan, agar kehidupan sesuadah kematian itu nyata, manusia perlu mempersiapkan diri dalam mengahadapi kematian dengan cara menghindari perbuatan-perbuatan jahat dan berusaha mengatasi kesombongan. Pewartaan ini menimbulkan pro-kontra.[33]
Xu-Guanqi dan Li-Zhiazo menerima pewartaan ini dan dibaptis menjadi katolik. Mereka mengatakan, ajaran ini dapat menyempurnakan ajaran Konfusian. Alasannya; nilai-nilai yang terdapat dalam agama Kristen ditemukan juga dalam Konfusian seperti keadilan, hormat kepada orangtua dan keinginan melayani surga. Sebaliknya, Zou Weilian dan Huang Zen tidak menerima pewartaan ini. Mereka mengatakan, konsep surga dalam Kekristenan itu berbeda dengan yang dimengerti oleh Konfusian. Surga adalah kombinasi dari prinsip ketraturan alam semesta dan relasi sosial makhluk hidup. Maka, tidak mungkin ada manusia di surga. Mereka juga mengungkapkan, upaya Ricci itu hanyalah tipu muslihat belaka dan harus dihukum dengan kekerasan. [34]  
b.      Allah
Pemahaman agama Kristen dalam Perjanjian Lama, khusunya kejadian; gambaran Allah dilihat sebagai pencipta seluruh alam semesta. Pemahaman ini masih abstrak dan anonim. Pemahaman dan pengalaman akan Allah sebagai persona atau pribadi terwujud dalam diri Yesus Kristus. Matteo Ricci dalam pewartaanya, ia menerjemahkan istilak-istilah khas Kristen kedalam bahasa Cina seperti: Shen (Roh Kudus), T’ien Chu (Tuhan Surga), Chi-Tu (Kristus), Ch’eng Huang (Kota Tuhan) dan Shang-Ti atau T’ien (Allah). Konsep Shang-Ti bagi Konfusian menunjuk pada kaisar karena kaisar dianggap sebagai dewa.[35]
            Istilah-istilah diatas, diterjemahkan oleh Ricci karena ada kemiripan antara paham Kristen dengan religius Cina. Allah yang adalah pencipta alam atau sebagai kekuatan abstrak dan anonim dihayati sebagai pribadi yang dekat, memelihara hidup dan menyertai perjalanan hidup manusia.
4.3        Masalah Ritus
Matteo Ricci menyadari bahwa orang Cina mempunyai agama yang luhur yang bertautan erat dengan budaya leluhur, yaitu menyembah Tuhan Surga. Agama tersebut kemudian terpecah menjadi tiga aliran: Kung Fu tze (Konfusianisme), Taoisme dan Budhisme, walaupun sebenarnya banyak orang Cina yang menganut ketiganya sekaligus dengan penekanan yang lebih kuat pada sisi Kung Fu tze. Karena itu di satu sisi, bagi Ricci, membakar dupa di depan arca atau patung Kung Fu tze atau juga di hadapan orang lain yang terkenal hanya merupakan tanda penghormatan dan bukanlah penyembahan berhala karena Kung fu Tze tidak pernah didewakan. Demikian juga penghormatan leluhur, juga merupakan ungkapan kasih sayang dan terima kasih anak kepada orang tua, suatu hal yang juga lazim di kalangan kristiani walaupun dengan cara yang berbeda. Namun di sisi lain, Ricci juga tetap memegang teguh ajaran kristiani dan tidak mentolelir segala hal, karena itu dia menilai bahwa ritus pemakaman Cina mengandung unsur tahayul dan bertentangan dengan iman kristiani.[36]
Karya Ricci tidaklah semata-mata ditujukan bagi kaum terpelajar. Orang pertama yang menerima iman katolik di Beijing adalah orang sederhana; rakyat jelata. Hal ini dapat terjadi karena Ricci melebur dengan kehidupan orang Cina di sekitarnya. Dia menunjukkan itikad baik dalam membina persahabatan dengan siapa saja, dan tidak mengecam kepercayaan ataupun adat kebiasaan setempat. Ketika Ricci wafat (1610), di seluruh Cina tercatat 2.000 orang Katolik dan semuanya terdapat di sekitar tempat-tempat tinggal yang pernah dia dirikan.[37]
Sikap Ricci yang toleran dan memajukan metode dialog dalam menghadapi budaya Cina diteruskan oleh para misionaris Yesuit setelah beliau wafat. Namun, sikap para misionaris Yesuit tersebut menimbulkan pertikaian dengan para misionaris Dominikan dan Fransiskan yang memandang ritus Cina sebagai budaya kafir dan bersifat tahayul. Karena itu para Dominikan dan Fransiskan lebih memilih memperkenalkan iman kristiani secara langsung sekaligus memvonis kepercayaan yang dianut bangsa Cina adalah sesat dan bahwa Allah yang satu dan benar adalah Allah orang Kristen, walaupun dengan resiko penyiksaan dan kematian. Tidak mengherankan bila mereka mempersalahkan apa yang dilakukan para Yesuit karena mereka berpendapat bahwa para Yesuit terlalu lambat dan toleran. Mereka mengirimkan laporan-laporan ke Eropa bahwa para Yesuit menutup-nutupi kebenaran kristiani, karena itu mereka perlu dihukum bahkan disingkirkan.[38]
Sikap anti toleransi tersebut mendapatkan legitimasi dari takhta suci dengan dikeluarkannya konstitusi “Exilla Die” (Paus Klemens XI) dan “Ex Quo Singulari” (Paus Benediktus XIV) yang mengecam dan melarang umat kristen Cina untuk mempraktekkan upacara-upacara tradisional. Pelarangan ini berlangsung selama hampir dua abad dan juga berlaku bagi orang kristen Cina perantau. Setelah dua abad lamanya, Roma meninjau kembali ritus dan seremoni Cina serta berkonsultasi dengan dengan pemerintahan Cina yang mengalami perkembangan mentalitas sehingga sejumlah ritus dan seremoni kehilangan makna religiusnya. Melalui instruksi baru yang dikeluarkan oleh Kongregasi Suci Perkembangan Iman yang ditujukan bagi Jepang, Manchuria, dan Cina (1935-1941), Roma menunjukkan toleransi yang besar terhadap ritus Cina.[39]
Sikap Gereja Katolik terhadap ritus Cina sekarang tidak lagi melulu berupa dialog dalam rupa toleransi tetapi sudah mencakup inkulturasi. Dengan kata lain gereja mengakui bahwa dalam setiap kebudayaan manusia terdapat nilai-nilai positif yang dapat diintegrasikan ke dalam kehidupan kristiani (bdk. Ad Gentes no.9). Gereja Katolik bersikap selektif dalam menentukan sikap terhadap ritus dan seremoni Cina. Gereja tetap tidak membenarkan penghormatan kepada roh-roh, penyembahan tahayul dan penyembahan berhala karena bertentangan dengan iman kristiani. Gereja memperbolehkan sejumlah ritus, namun dengan catatan bahwa sikap tersebut tidak menyimpang dari batas ukur atau bertentangan dengan iman kristiani.[40] 

V.     Penutup

5.1        Kesimpulan
Penulis sangat terkesan dengan perjuangan Matteo Ricci dalam upaya mewartakan kabar gembira Kristus di Cina. Bagi penulis, Ricci menyumbangkan satu pemikiran yang sangat berharga bagi perkembangan Gereja Katolik yaitu konsep dialog dengan itikad baik disertai sikap terbuka dan penuh kerja sama yang melibatkan seluruh entitas hidup dan budaya. Ricci tidak memaksakan kebenaran secara sepihak, tetapi dengan lugasnya masuk ke dalam alam pemikiran setempat, dan dari dalam alam pemikiran tersebut dia jalankan misi Gereja universal; suatu evangelisasi yang lebih natural, evangelisasi yang menunjukkan habitus kasih kristiani.
            Penulis sungguh mengharapkan bahwa tulisan ini dapat, setidaknya, menyumbangkan ide berdialog antar agama sekaligus budaya di tengah bangsa Indonesia. Tidak dapat disangkal, bahwa Indonesia merupakan negara dengan pelbagai suku bangsa dan budaya yang tidak dapat disamakan satu sama lain begitu saja. Metode evangelisasi ala Matteo Ricci yang menekankan pendekatan personal dari segi budaya dan pengetahuan dapat dijadikan salah satu contoh acuan dalam mengembangkan pola berdialog.
5.2        Refleksi Penulis
Karya misi Matteo Ricci merupakan satu hal yang menarik untuk direfleksikan oleh para calon imam. Kesetiaan, kerendahan hati dan semangat untuk belajar dan berbagi yang dimiliki Matteo Ricci merupakan senjata utama dalam karya pelayanannya. Ia juga tidak patah semangat ketika berhadapan dengan persoalan-persoalan yang datang dari tubuh Gereja sendiri dan juga dari budaya masyarakat setempat.
Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan dewasa ini, menjadi tantangan tersendiri bagi para calon pewarta kabar gembira. Perkembangan imu pengetahuan dan teknologi itu serentak membawa perubahan pada pola pikir masyarakat. Masyarakat akan menjadi lebih kritis terhadap segala sesuatu, dalam hal ini mengenai pewartaan kabar gembira itu sendiri. Untuk itu, para calon pewarta kabar gembira perlu mempersiapkan diri sidini mungkin. Persiapan itu mencakup pengetahuan teoritis mapun praksis dan juga dalam hal mental, sehingga para calon pewarta tersebut mampu untuk melihat, membaca situasi dan mampu untuk merumuskan metode yang tepat dalam karya pewartaannnya. Akan tetapi, relasi, semangat dan ketekunan juga merupakan hal yang perlu karena tanpa hal itu seseorang akan mudah jatuh dalam keputusasaan.
Relasi itu menuntut komunikasi. Komunikasi yang baik akan mempermudah seseorang dalam karya pewartaan dan akan memudahkan umat Allah untuk meneriman pewartaan itu. Komunikasi tidak hanya dilakukan dengan para pemimpin daerah tetapi juga dengan rekan pewarta. Jika tidak, akan muncul persiangan diantara para pewarta. Para pewarta sendiri akan saling menjatuhkan satu sama lain dan menganggap bahwa person atau kelompoknya yang lebih baik. Dengan demikian, hakekat pewartaan itu menjadi pudar. Orang atau kelompok tertentu akan lebih giat mempopulerkan diri demi mendapat kepercayaan untuk menggemlakan umat Allah.
Menjadi suatu hal yang baik, jika dipercayakan untuk menggembalakan umat Allah. Akan tetapi, hal utama yang perlu untuk diperjuangkan ialah pewartaan kabar gembira bagi umat Allah. Namun, tidak dipungkiri lagi bahwa karya pewartaan juga dipakai sebagai lahan bisnis oleh para pewarta dewasa ini. Para pewarta tertentu akan lebih bersemangat untuk melaksanakan tugas pewartaan, jika ditempatkan didaerah yang mampu mendatangkan keuntungan finansial baginya.
Karya pewartaan Matteo Ricci hendaknya menjadi cerminan bagi calon pewarta kabar gembira. Persiapan diri dalam hal pendidikan perlu untuk di tingkatkan, sehingga para calon pewarta tersebut akan menjadi pewarta kabar gembira yang handal. Pewarta yang lebih mengutamakan pewartaan kabar gembira dari pada hal yang berkaitan dengan materi. Pewarta juga hendaknya mengadakan hubungan baik dengan semua orang yang terlibat dalam karya pewartaan, sehingga tidak memunculkan persaingan diantara para pewarta sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Balela, Yoseph S. Filsafat Timur. Sinaksak: STFT St. Yohanes, 2005. (Diktat).
Creel, H. G. Alam Pemikiran Cina; Sejak Confusius sampai Mao Zendong. diterjemahkan oleh Soejono Soemargono Yogyakatra: Tiara Wacana Yogya, 1989.
F. Ryan, Thomas. Yesuit di Cina. Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Moffet, Samuel. A History of Christianity in Asia vol II. New York: Harper Collins Publisher. 1992.
Schie, G Van. Manusia Segala Abad: Pencari serta Pencipta Makna Hidupnya. Jakarta: Obor, 1996.
Spence, J. D. The Memory Palace of Matteo Ricci. London: Faber and Faber, 1985.
Wegig, R. Wahana. Pewartaan Iman Kontekstual. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
.


[1] R. Wahana Wegig, Pewartaan Iman Kontekstual (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 7.
[2] Thomas F. Ryan, Yesuit di Cina (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 7.
[3] R. Wahana Wegig, Pewartaan …, hlm. 33-34.
[4] R. Wahana Wegig, Pewartaan …, hlm. 34-35.
[5] Thomas F. Ryan, Yesuit …, hlm. 17-18.
[6] R. Wahana Wegig, Pewartaan …, hlm. 135.
[7] G Van Schie, Manusia Segala Abad: Pencari serta Pencipta Makna Hidupnya (Jakarta: Obor, 1996), hlm. 14-15.
[8] R. Wahana Wegig, Pewartaan …, hlm. 12.
[9] R. Wahana Wegig, Pewartaan …, hlm. 30-32.
[10] R. Wahana Wegig, Pewartaan …, hlm. 32.
[11] R. Wahana Wegig, Pewartaan …, hlm. 21.
[12] Kebudayaan Timur yang dimaksud di sini ialah kebudayaan Taoisme, Konfusius, Buddha, Hindu, dan Shintoisme. Mereka ingin mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan lewat hidup menurut alam, yoga, dan lain sebagainya. Bdk. Yoseph S. Balela, Filsafat Timur (Sinaksak: STFT St. Yohanes, 2005), hlm. 2. (Diktat).
 [13] Yoseph S. Balela, Filsafat Timur …, hlm. 3.
[14] R. Wahana Wegig, Pewartaan …, hlm. 16.
[15] H. G. Creel, Alam Pemikiran Cina; Sejak Confusius sampai Mao Zendong, diterjemahkan oleh Soejono Soemargono (Yogyakatra: Tiara Wacana Yogya, 1989), hlm. 29.
[16] H. G. Creel, Alam Pemikiran Cina …, hlm. 49.
[17] H. G. Creel, Alam Pemikiran Cina …, hlm. 36
[18] J. D. Spence, The Memory Palace of Matteo Ricci (London: Faber and Faber, 1985), hlm. 134.
[19] J. D. Spence, The Memory Palace …, hlm. 135.
[20] J. D. Spence, The Memory …, hlm. 135-136.
[21] J. D. Spence, The Memory …, hlm. 136-137.
[22] Thomas F. Ryan, Yesuit…, hlm. 18-19.
[23] Samuel Moffet, A History of Christianity in Asia vol II (New York: Harper Collins Publisher. 1992), hal, 106.
[24] Samuel Moffet, A History …, hal. 106.
[25] Samuel Moffet, A History …, hal. 107.
[26] R. Wahana Wegig, Pewartaan …, hlm. 63.
[27] R. Wahana Wegig, Pewartaan …, hlm. 96.
[28] Samuel Moffet, A History …, hal, 110.
[29] Samuel Moffet, A History …, hal, 111.
[30] Samuel Moffet, A History …, hal. 111-115.
[31] Samuel Moffet, A History …, hal. 116.
[32] R. Wahana Wegig, Pewartaan …, hlm. 81-82.
[33] R. Wahana Wegig, Pewartaan …, hlm. 84.
[34] R. Wahana Wegig, Pewartaan …, hlm. 85-86.
[35] R. Wahana Wegig, Pewartaan …, hlm. 87-88.
[36]  Samuel Moffet, A History …, hal. 120.
[37] Thomas F. Ryan, SJ., Yesuit..., hlm. 30.
[38] Samuel Moffet, A History …, hal. 121.
[39] Samuel Moffet, A History …, hal. 121-122.
[40] Samuel Moffet, A History …, hal. 12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar