misi Matteo Ricci di Cina
Misi Matteo Ricci di Cina
I.
Pengantar
Orang
beriman yang telah dibaptis dalam Gereja dipanggil untuk mewartakan karya
keselamatan kepada setiap orang. Gereja sebagai persekutuan umat Allah ikut di
panggil untuk karya keselamatan demi keselamatan jiwa orang beriman. Karya
pewartaan cinta kasih bukan melulu diartikan sebagai hal yang sifatnya
teoritis, manakala orang menyetujui karya pewartaan itu melainkan orang dapat
memahaminya dan sanggup melaksanakan cinta kasih tersebut dalam
tindak-tanduknya.
Melalui
konsili Vatikan II, dalam dokumen Ad Gentes menegaskan “kepada para bangsa,
Gereja diutus oleh Allah menjadi sakramen universal keselamatan. Untuk memenuhi
tuntutan hakiki sifat Katoliknya, mentaati perintah pendirinya, Gereja sungguh
berusaha mewartakan Injil kepada semua orang”. Disini Gereja mulai membuka diri
dan mengakui keberadaan setip agama sebagai suatu jalan kebenaran dan
keselamatan. Gerejapun mulai mewartakan karya Allah dengan tidak menganggap
diri sebagai satu-satunya jalan keselamatan, namun membangun suatu dialog
sebagai sarana karya pewartan iman demi
keselamatan.[1]
Agama
Kristen telah diwartakan oleh para misionaris di Cina. Para
misionaris tersebut telah meninggalkan jejak mendalam bagi perkembangan karya
misi dan bagi perkembangan Negara Cina sendiri. Meskipun demikian, kesulitan
terus mereka hadapi dalam karya pewartaan karena aliran kepercayaan Kong Hu Cu,
Budha dan Taoisme sudah berakar dan berpengaruh besar di Cina, baik di bidang
politik maupun kebudayaan. Bangsa Cina menganggap peradaban mereka sebagai
peradaban yang tertinggi. Karena itu, suatu ajaran baru yang ingin dibawakan
kepada mereka sulit untuk diterima. Mereka menganggap kebudayaan dari luar itu
rendah. Filsafat Kong Hu Cu menghargai adat-istiadat yang diwariskan oleh para
leluhur.[2]
Fransiskus
xaverius bercita-cita mengabarkan Injil di Cina tetapi ia meninggal dalam
perjalanan sehingga ia tidak sampai ke Cina. Setelah Fransiskus Xaverius, dua
orang Yesuit yaitu, Michael Runggerius dan Matteo Ricci melanjutkan karya misi
tersebut.
Metode
yang dipakai Matteo Ricci adalah pendekatan kebudayaan. Ia mempergunakan
keahliannya dalam bidang intelektual sebagai cara menarik perhatian golongan
masyarakat tinggi. Ia belajar Hukum, Matematika dan astronomi di Roma, dan
belajar Teologi di Goa. Ia melukis peta dunia dengan Cina sebagai pusatnya guna
menjelaskan di mana Negara-negara Eropa dan Amerika, ia juga menyesuaikan diri
dengan kebudayaan Cina, mempelajari Kong Hu Cu dan kesastraan Cina, menulis
karangan-karangan mengenai Iman Kristen maupun Ilmu pengetahuan Eropa, mencari
istilah-istilah bahasa asli Cina untuk menjelaskan konsep Kristen.
II. Sekilas Tentang Matteo Ricci
Matteo Ricci lahir di Macerata, Italia, pada
tanggal 6 Oktober 1552 dari pasangan Giovanni Battista Ricci dengan Giovanna
Angioleli. Ia berasal dari keluarga bangsawan dan salah satu keturunan
bangsawan. Ayahnya bekerja dibidang pemerintahan sedangkan ibunya dikenal
dengan seorang wanita yang disegani karena kesalehannya. Kedua orangtuanya mengharapkan
agar Matteo Ricci yang meneruskan nama keluarga mereka. Kaena itu, ayahnya
mengirim Ricci mengikuti neneknya Laria. Di sana ia mengisi masa kecilnya degan membaca
dan menulis dalam bahasa Latin di bawah bimbingan Nicolo Bencivegni yang adalah
seorang imam Diosesan. Kedekatan inilah yang menumbuhkan bibit panggilan dalam
hati Ricci. Ricci sangat terkesan dan tertarik akan pengalaman baik dari sang Imam
dan mempunyai niat untuk menjadi Imam. Namun, pada tahun 1559 Pastor Nicolo meninggalkan
Matteo Ricci. Matteo Ricci pada akhirnya dibimbing oleh Imam-Imam dari
kongregasi Serikat Yesus. Dibawah bimbingan para Yesuit, Ricci mulai
meyempurnakan bahasa Latinnya sekaligus mulai belajar bahasa Yunani. Ini
merupakan langkah awal bagi Matteo Ricci dalam menanggapi panggilan sebagai
seorang Yesuit[3].
Pada
tahun 1571, Matteo Ricci diterima dalam kongregasi Serikat Yesus oleh Valignani
selaku wakil magister di Roma. Valignani rupanya menaruh simpati yang besar
kepada Ricci dan itu terbukti ketika mereka menjadi rekan misionaris di Cina.
Sebagai pelajar di Roma, ia dengan cepat menguasai ilmu Matematika
dan ilmu hukum. Di samping itu, dia juga mempunyai bakat dibidang praktis dan
dapat membuat banyak hal, dari jam surya dan bola bumi dan alat-alat mesin. Dia juga mengalami kemajuan dalam
bidang bahasa dan dapat menjalin persahabatan dengan orang-orang terpelajar dan
orang-orang luar.<v_Qj /K=<otnoteReference">[4]
Sebelum
memulai karya misinya di Cina, Ricci mulai mempersiapkan diri dengan
mempelajari bahasa, budaya dan sistem
pemerintahan bangsa Cina di India. Pada 31 Juli 1580 ia ditabiskan menjadi imam
di Cochin,
India Selatan[5].
Matteo
Ricci adalah sosok seorang tokoh yang berhasil dalam menjalankan misi Kristiani
khusunya di bangsa Cina. Ia sangat terkenal dipanggung sejarah pewartaan.
Setelah menyelesaikan misi pewartaan dan karya-karyanya yang lain, salah
satunya menyusun katekismus (16 pasal). Matteo Ricci mengakhiri hidupnya pada
tanggal 11 Mei 1610.[6]
III. Kebudayaan Masyarakat Cina
Wilayah geografis Cina sebagian besar terdiri atas banyak
pegunungan, sungai, dan danau. Melihat keadaan geografis tersebut dapat
disimpulkan bahwa negara Cina adalah sebuah negara yang memiliki kekayaan alam
yang melimpah. Keadaan geografis yang demikian sangat memungkinkan untuk hasil
pertanian di Cina yang sebagian besar wilayahnya adalah dataran. Keadaan ini
membuat orang Cina memandang negeri mereka sebagai pusat semesta alam.
Konsekuensi dari keyakinan tersebut adalah percaya akan Dewa-Dewi[7]
sebagai pengatur peristiwa alam semesta.[8]
Pendidikan dan kebudayaan yang diwariskan oleh para
leluhur merupakan hal yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Cina pada saat itu. Mereka
berhasil membangun sistim pemerintahan dan struktur kemasyarakatan yang khas.
Tata kehidupan yang demikian membuat mereka]Mc+hutuhan
hidup mereka. Dengan demikian, mereka bisa meluaskan kekuasaannya dalam bidang
ekonomi, politik dan budaya.
3.1 Sistem Pemerintahan
Pemegang
kekuasaan tertinggi negara Cina adalah Kaisar. Kaisar dianggap sebagai
keturunan dewa. Masyarakat Cina sendiri menyebut Kaisar sebagai Thien-Chu yang artinya “putera surga’.
Bentuk pemerintahan formal negara Cina pada adab ke XVI adalah monarki.
Artinya, peralihan tahta kerajaan dilaksanakan secara turun-temurun dan bukan
dengan pemilihan umum. Adapun struktur pemerintahan negara Cina dibagi atas dua
yakni kuria pusat dan provinsi-provinsi. Kuria pusat terdiri atas beberapa
deparKnc 4F%U:ctyle="mso-bidi-font-style: normal;">Li-pu, (departemen
kehakiman), Ho-pu departemen
keuangan, Ly-pu (departemen
keagamaan), Pim-pu (departemen
pertahanan dan keamana), Cum-pu (departemen
tenaga kerja dan perumahan rakyat), Him-pu
(departemen kepolisian). Sedangkan, provinsi diperintah oleh gubernur.
Disamping itu, ada dua pengadilan yakni Pucinsu
(pengadilan umum) dan Naganzafu (pengadilan
kriminal). Disetiap pengadilan terdapat Tauli
yakni semacam perkumpulan para pengacara.[9]
Kaisar
adalah Putera Surga. Karena itu, tidak semua orang bisa melihatnya secara
langsung. Hanya orang-orang yang bertugas sebagai pemimpin suatu departemen
yang bisa menghadap dan menatap secara langsung wajah Kaisar.[10]
3.2 Adat
Istiadat
Saling menghormati merupakan hal sangat ditekankan dan diwajibkan dalam
budaya Cina. Penghormatan yang terutama ditujukan kepada orangtua dan kepada
semua orang, baik yang dikenal maupun yang belum dikenal. Sikap hormat yang
ditunjukan ialah, tangan ditangkupkan dalam sikap menyembah disertai dengan
ucapan Zin-zin (salam khas
masyartakat Cina). Setelah melakukan hal tersebut mereka menghadap ke
daerah Peking, lalu bersujud. Hal ini dilakukan sebagai simbol
tempat Putera Surga bersemayam.
Dalam berbicara mereka tidak menggunakan kata ganti orang pertama dengan
maksud, menghindari keinginan menyombongkan diri. Dengan demikian, mereka lebih
mengutamakan sikap rendah hati dihadapan orang lain. Selain itu, dalam
perkawinan, seorang laki-laki mendapat hak yang istimewa karena ia boleh
memiliki banyak istri. Bagi seorang Raja, ia boleh mempunyai banyak selir,
namun harus tetap mempunyai permaisuri dengan tujuan untuk melahirkan Putera
Mahkota.[11]
3.3
Pendidikan
Kebudayaan
Timur[12]
memiliki perbedaan yang sangat mencolok dengan kebudayaan Barat. Kebudayaan
Barat sangat mengagungkan ratio. Rasio dijadikan sebagai kekuatan untuk
mengetahui realitas dan menguasai alam dan segala isinya. Sedangkan, kebudayaan
Timur memiliki ciri khas tersendiri yakni penekanan akan unsur intuisi,
kerohanian, perasaan dan hati dalam melihat dan menilai realitas yang ada.
Unsur-unsur ini akan menghantar manusia pada pemeliharaan dan kesucian diri.
Dengan kata lain, sifat khas Kebudayaan Timur adalah mencari pengetahuan ke
dalam (batiniah) demi memperkaya kerohanian diri.[13]
Ilmu
pengetahuan tidak terlepas dari bahasa. Bahasa Cina (Mandarin) merupakan satu kekhasan bagi bangsa Cina sendiri. Orang-orang
asing yang berdomisili di daerah Cina merasa kesulitan dalam mempelajari
bahasa, karena tidak hanya tahu ucapannya saja melainkan harus mampu dalam
tulis-menulis. Selain itu, mereka lebih menekankan suatu filsafat praktis,
yakni filsafat moral (etika) dari pada pengetahuan rasio. Ajaran-ajaran
tersebut disampaikan kepada kaum muda dalam bentuk pepatah dengan tujuan agar
mereka lebih mudah memahami dan merasa tertarik untuk mempelajarinya. Hal ini
terungkap dalam pandangan filsafat Konfusius. Tulisan-tulisan Konfusius menjadi
pedoman bagi masyarakat Cina dalam kehidupan sehari-hari. Tulisan tersebut
prinsip-prinsip untuk hidup baik dan rukun dalam masyarakat. Selain itu, ada
juga aturan-aturan dan tata cara dalam mengatur negara dan adat istiadat dengan
bijak.[14]
3.4 Religiusitas
a. Konfusianisme
Aliran ini dapat dikategorikan sebagai suatu sistem pemikiran
filsafat dari pada suatu bentuk religius atau agama, karena di dalam aliran
tersebut tidak diajarkan bentuk-bentuk devosi atau ibadat melainkan perintah-perintah
moral. Konfusis (K`ung-Fu-Tzu) sebagai pendiri Aliran ini sekaligus sebagai
seorang pemimpin, ia harus memiliki keutamaan-keutamaan seperti perikemanusian
(Jen). Keutamaan tersebut meliputi beberapa hal, misalnya cinta kasih,
kelembutan, dan kemurahan hati serta berlaku adil dan jujur.[15]
b. Taoisme
Aliran ini timbul sebagai suatu
terhadap ajaran Konfusianis yang sangat menekankan hidup bermasyarakat. Oleh
karena itu, mereka lebih terarah pada hidup meyendiri sehingga mereka dapat
menjalani hidup kesederhanaan. Tentunya dengan cara tersebut mereka dibantu
untuk lebih memaknai arti hidup.[16]
c. Buddhisme
[17]
IV. Misi Matteo Ricci
Abad
XV-XVI dikenal dengan zaman reanisance dan bangkitnya humanisme di Eropa.
Masyarakat Eropa yang selalu menganggap diri sebagai bangsa yang unggul, mulai
membuka diri dan mengakui keberadaan bangsa yang lain. Abad ini juga ditandai
dengan penemuan benua Amerika oleh Colombus pada tahun 1541-1506 dan eksplorasi
Vasco da Gama ke India.
Selain itu juga, perluasan kekaisaran Spanyol dan Portugal. Perluasan kekaisaran ini
dilihat sebagai salah satu jalan untuk mewartakan iman Kekristenan kepada
mereka yang belum tersentuh oleh iman kekristenan.[18]
Situasi
yang demikian digunakan oleh Fransiskus Xaverius dan teman-temannya sampai pada
Matteo Ricci untuk mewartakan iman Kristen di Asia, khususnya negara Cina.
Bibit iman Kristen yang telah ditabur oleh para misionaris di Cina mulai tumbuh
dan berkembang pada masa Matteo Ricci.
4.1 Motivasi Misi
Kegiatan
misioner gereja pada abad XV-XVI dilatar belakangi oleh pemikiran bahwa “diluar
Gereja tidak ada keselamatan”. Selain itu, misi Gereja pada abad XV-XVI juga
sangat berkaitan erat dengan kekuatan ekspansi ekonomi dan politik
bangsa-bangsa Eropa, khususnya Spanyol dan Portugis. Perjanjian “Tordesilas” yang dilaksanakan pada
tanggal 9 juni 1494 membahas persoalan mengenai penguasaan daerah jajahan oleh
Spanyol dan Portugis. Perjanjian ini dipertegas kembali oleh Paus Alexander VI
dalam bula Padroado yang dalam bahasa
Portugis berarti “Raja sebagai majikan,
pelindung dan Gereja”. Isi dari bulla tersebut yaitu membawa bangsa-bangsa yang
mendiami pulau-pulau dan benua yang ditemukan oleh Spanyol dan Portugis kepada
iman Kristen. Ada
tiga misi yang diemban oleh Portugis dan Spanyol yakni berdagang, menaklukan
wilayah dan menyebarkan agama. Juga ditegaskan, kepada bangsa-bangsa yang
mendiami pulau dan benua yang ditemukan,
Gereja mengutus kehadapannya orang-orang bijaksana, tulus, saleh dan berbudi
baik yang sanggup memberi pengajaran mengenai iman Katolik kepada bangsa-bangsa
pribumi.[19]
Pada
tahun 1577, Matteo Ricci memulai tugas perutusan sebagai misionaris di Cina.
Pada bulan Maret 1578 ia berangkat ke India
bersama dengan temannya, Ruggieri dan berlabuh di Goa India. Matteo Ricci mulai
memikirkan tugasnya dan ingin mendekati orang-orang sederhana untuk mewartakan
injil. Cara ini dianggap paling tepat olehnya dan akhirnya diterapkan dalam
pewartaannya sebagai misionaris.[20]
Situasi
Gereja pada abad XV-XVI yang sangat menaruh perhatian pada kegiatan missioner
ada karena anggapan bahwa diluar Gereja tidak ada keselamatan, merupakan alasan
utama kedatangan Matteo Ricci di Cina. Ia ingin membawa bangsa Cina kepada
kepada Kristus dalam persekutuan dengan Gereja melalui pembaptisan. Akan
tetapi, tidak mudah merealisasikannya tujuan kedatangannya tersebut. Latar
belakang pemikiran bangsa Cina bahwa
merekalah bangsa yang berkebudayaan tinggi dan sukar menerima pengaruh
kebudayaan bangsa yang lain menjadi titik persoalannya.[21]
4.2 Metode Pendekatan
Matteo
Ricci sadar bahwa untuk memulai karya misinya di Cina, ia harus
terlebih dahulu belajar bahasa dan budaya setempat agar pewartaannya mudah diterima.
Setahun belajar teologi di Goa karena sakit,
maka ia dipindahkan ke Cochin di India Selatan. Sementara itu, Ruggieri yang
bertugas di Macao mengalami kesulitan dalam
mempelajari bahasa Cina sehingga ia meminta agar Matteo Ricci dikirim ke sana untuk menemani dia.[22]
Pada
tahun 1582 Matteo Ricci dan Francesco Pasio berlayar menuju Macao. Di sana Matteo berjumpa dengan Valignano yang
menegaskan keyakinannya akan misi ke Cina kendati dahulu Fransiskus Xaverius “gagal”
memasuki daratan Cina. Matteo Ricci yakin bahwa suatu saat bangsa Cina pasti
dapat dibawa kepada Kristus. Akan tetapi, metode yang dipakai haruslah sesuai
dengan situasi daerah setempat, jika tidak bangsa Cina akan sulit untuk
menerima kristus. Metode pendekatan yang dirintis oleh Ricci dapat bagi dalam
beberapa bagian yaitu:
4.2.1
Pendekatan Kontekstual
Pengetahuan
akan bahasa dan budaya suatu daerah akan
memudahkan seseorang untuk masuk dan diterima oleh masyarakat daerah setempat.
Karena itu, Matteo Ricci sadar bahwa hal pertama yang harus dilakukannya ialah
mempelajari bahasa dan budaya Cina.
Pada
tahun 1508, Matteo Ricci Riggueri tiba
di Macau. Di sana, Ricci mulai belajar bahasa dan tulisan
Cina. Disana, Ricci lebih memperdalam bahasa dan budaya Cina, dan dalam waktu
tiga bulan, ia berhasil menguasai bahasa dan tulisan Cina. Setelah mempelajari
bahasa dan budaya Cina, Rugieri dan Ricci berangkat ke Zhaoqing. Upaya untuk
mempelajari bahasa Cina, sangat bermanfaat bagi Ricci. Ia dikemudian hari dapat
menuangkan pengetahuannya tentang kesussastraan dan filsafat jika mengadu
argumen membela Kristianitas. Kaisar Wan Li yang berkuasa pada waktu itu,
sangat mengaggumi kemampuan intelektual Ricci. Karea itu, Ia mengijinkan Ricci
dan Ruggieri untuk tinggal menetap di Zhaoqing.[23]
Matteo
Ricci pada awalnya mengikuti cara hidup dan ajaran Budhisme sebagai pintu masuk
bagi Kekristenan yang dibawanya. Mereka berpakaian abu-abu layaknya seorang
biarawan Budhis. Di saat itu juga ia mengganti namanya menjadi Li Ma Tou.
Adaptasi ini dilakukannya selama ± 6 tahun. Akan tetapi, dalam refleksinya ia
melihat bahwa alasan kemandekan dalam bermisi selama ± 6 tahun ialah adaptasi
yang ia lakonkan saat ini. Karena itu, Ricci mencari jalan lain dengan
menggantikan posisinya dari pertapa Buddhisme menjadi cendikiawan Konfusian. Alasannya
memilih Konfusian berhubungan dengan situasi masyarakat yang bingung dengan
ajaran ayang dibawa oleh aliran Neo-Konfusian. Aliran neo-Konfusian terlalu
bebas menafsirkan ajaran asli Konfuasian dan penafsiran mereka justru menjurus kedalam
bentuk behala-berhala.[24]
Pedekatan
itu akan mudah diterima, jika Ricci melebur dalam kebiasaan hidup para
cendekiawan Konfusian. Ricci mulai memakai pakaian layaknya seorang cendekiawan
Konfusia. Ricci dapat menyamakan dirinya dengan para pejabat dan berada dalam
lapisan tertinggi masyarakat Cina. Perubahan yang dilakukan Ricci ini
menimbulkan rasa simpati para pejabat dan memberi kesan bahwa Ricci mampu
menguasai tradisi di Cina.[25]
4.2.2
Pendekatan
Ilmiah
Dengan
pendekatan ini, Ricci mulai menjalin relasi yang baik dengan para petinggi
negara Cina. Hal ini memudahkan Ricci untuk mengarahkan masyarakat kepada iman
yang benar. Melalui metode ini, Ricci tampil sebagai seorang guru dan berhasil
menarik hati orang-orang Cina masuk ke dalam institut gereja secara perlahan-lahan.
Ricci, juga berperan sebagai seorang murid yang setia mendengarkan, maka
hubungannya dengan para pemimpin di Cina semakin hari semakin erat. Dengan
memilih Konfusianisme, Ricci dapat masuk ke dalam budaya masyarakat Cina
sehingga ia berhasil mewartakan injil sekaligus menjala manusia masuk dalam
pangkuan Gereja.[26]
Ricci mulai dikenal oleh masyarakat
Cina sebagai orang bijak dari barat. Ungkapan orang bijak diberikan kepada
Ricci karena kemampuan intelektual dan berelasi yang ada dalam dirinya.
a. Menterjemahkan Katekismus
Pengetahuan
Ricci akan bahasa dan budaya Cina, sedikit mempermudah penyebaran agama Katolik
di Cina. Penerjemahan ajaran agama Kristen dalam bahasa Cina merupakan salah
satu media pewartaan yang akurat pada saat itu. Ricci dan Ruggieri
menerjemahkan Sepuluh perintah Allah. Karya ini diterima baik oleh orang-orang
Cina karena sarat dengan ajaran moral. Keberhasilan ini mendorong Ricci dan
Ruggieri untuk menerjemahkan lagi doa Bapa kami, salam Maria dan Aku percaya.[27]
Pada bulan Nopember
1584, Ruggieri dan Ricci telah berhasil menyusun Tien Chu Shih-lu (katekismus)
dalam bahasa Cina, sebanyak 16 pasal. Tien
Chu Shih-lu ini disambut baik karena erisikan tanya jawab antara murid dan
gurunya. Akan tetapi, Selama membuat katekismus, Ricci juga mengalami kesulitan
dalam mencari padanan kata dalam bahasa Cina untuk terminologi Kristen, agar
tidak disalah artikan. Misalnya, Ricci menerjemahkan Allah ke dalam bahasa
Tionghoa dengan sebutan T’ien Chu.[28]
b. Membuat
Peta
Seorang
ahli Geografi Cina, Li-Chih-Tsao merupakan teman karib Matteo Ricci.
Li-Chih-Tsao mengetahui keterampilan dan kepandaian Ricci dalam berbagai
bidang, dalam konteks ini ialah Geografi. Pada tahun 1565-1630, Li-Chih-Tsao
meminta Ricci untuk membuat peta seluruh dunia. Peta bagi bangsa Cina sangatlah
penting. Kita tahu bahwa bangsa Cina sangat kaya akan hasil bumi dan sutera.
Karena itu, mereka sering bepergian ke daerah lain untuk menjual hasil bumi dan
yang lebih dikenal ialah sutera. Untuk mengetaui letak daerah-daerah yang akan
dikunjungi mereka harus memiliki peta. Dengan demikian, mereka akan lebih mudah
membuat rancangan perjalanan yang tepat dan cepat.[29]
Para
cendekiawan Cina yang berdiskusi bersama Ricci dalam suatu pertemua, melihat
bahwa peta buatan mereka kurang sempurna. Sebaliknya mereka melihat peta buatan
Riccilah yang lebih terperinci. Karena itu, gubernur Wang-Pan yang memerintah
pada saat itu meminta Ricci untuk menterjemahkan keterangan-keterangan yang
terdapat dalam peta kedalam bahasa Cina dan menyebarkannya kesetiap pejabat
Cina. Peta tersebut diberi judul y’u-ti shan ch’uan-tu (peta lengkap bumi,
gunung-gunung dan lautan). Penyebaran peta ini menjadi bukti bagi orang Cina
bahwa orang-orang yang berkebudayaan Eropa juga memiliki kebudayaan dan pengetahuan
yang tinggi.[30]
4.2.3
Pendekatan
Religius
Pendekatan
ini membahas tentang titik-titik persamaan ajaran Konfusian dengan Kekristena
yang ditemukan oleh Ricci. Matteo Ricci berusaha menggali kekayaan pengalaman
religius yang terdapat dalam Konfusian[31].
Dengan demikian, ia dapat membangun dan menemukan metode pewartaannya.
Pendekatan yang demikian tidak berarti bahwa ia tidak menemukan kendala dalam
pewartaannya. Beberapa pokok ajaran Kristen yang diwartakan Ricci dengan
merujuk pada ajaran Konfusian yaitu:
a. Surga
Surga bagi
orang Kristen digambarkan sebagai tempat kediaman Allah dan para malaikat atau
suatu keadaan bahagia bagi orang-orang yang meninggal dalam Kristus. Konsep
surga bagi orang Cina diungkapkan dengan kata T’ien. T’ien adalah gambaran situasi teratur atau keseimbangan
antara yang kodrati dan adikodrati. Ajaran tentang surga menunjuk pada
kehidupan sesudah kematian. Konsep inilah yang sulit diterima karena bangsa
Cina tidak percaya akan kehidupan sesudah kematian.[32]
Berhadapan
dengan situasi ini, Ricci menjelaskan sesuai dengan cita rasa bangsa Cina yang
lebih menekankan perbuatan dari pada pengolahan logis-rational. Ricci
mengatakan, agar kehidupan sesuadah kematian itu nyata, manusia perlu
mempersiapkan diri dalam mengahadapi kematian dengan cara menghindari
perbuatan-perbuatan jahat dan berusaha mengatasi kesombongan. Pewartaan ini
menimbulkan pro-kontra.[33]
Xu-Guanqi
dan Li-Zhiazo menerima pewartaan ini dan dibaptis menjadi katolik. Mereka
mengatakan, ajaran ini dapat menyempurnakan ajaran Konfusian. Alasannya;
nilai-nilai yang terdapat dalam agama Kristen ditemukan juga dalam Konfusian
seperti keadilan, hormat kepada orangtua dan keinginan melayani surga.
Sebaliknya, Zou Weilian dan Huang Zen tidak menerima pewartaan ini. Mereka
mengatakan, konsep surga dalam Kekristenan itu berbeda dengan yang dimengerti
oleh Konfusian. Surga adalah kombinasi dari prinsip ketraturan alam semesta dan
relasi sosial makhluk hidup. Maka, tidak mungkin ada manusia di surga. Mereka
juga mengungkapkan, upaya Ricci itu hanyalah tipu muslihat belaka dan harus
dihukum dengan kekerasan. [34]
b. Allah
Pemahaman
agama Kristen dalam Perjanjian Lama, khusunya kejadian; gambaran Allah dilihat
sebagai pencipta seluruh alam semesta. Pemahaman ini masih abstrak dan anonim.
Pemahaman dan pengalaman akan Allah sebagai persona atau pribadi terwujud dalam
diri Yesus Kristus. Matteo Ricci dalam pewartaanya, ia menerjemahkan
istilak-istilah khas Kristen kedalam bahasa Cina seperti: Shen (Roh Kudus), T’ien Chu (Tuhan Surga),
Chi-Tu (Kristus), Ch’eng Huang
(Kota Tuhan) dan Shang-Ti atau T’ien (Allah). Konsep
Shang-Ti bagi Konfusian menunjuk pada
kaisar karena kaisar dianggap sebagai dewa.[35]
Istilah-istilah diatas, diterjemahkan oleh Ricci karena
ada kemiripan antara paham Kristen dengan religius Cina. Allah yang adalah
pencipta alam atau sebagai kekuatan abstrak dan anonim dihayati sebagai pribadi
yang dekat, memelihara hidup dan menyertai perjalanan hidup manusia.
4.3
Masalah
Ritus
Matteo Ricci menyadari bahwa orang Cina mempunyai agama
yang luhur yang bertautan erat dengan budaya leluhur, yaitu menyembah Tuhan
Surga. Agama tersebut kemudian terpecah menjadi tiga aliran: Kung Fu tze
(Konfusianisme), Taoisme dan Budhisme, walaupun sebenarnya banyak orang Cina
yang menganut ketiganya sekaligus dengan penekanan yang lebih kuat pada sisi
Kung Fu tze. Karena itu di satu sisi, bagi Ricci, membakar dupa di depan arca
atau patung Kung Fu tze atau juga di hadapan orang lain yang terkenal hanya
merupakan tanda penghormatan dan bukanlah penyembahan berhala karena Kung fu
Tze tidak pernah didewakan. Demikian juga penghormatan leluhur, juga merupakan
ungkapan kasih sayang dan terima kasih anak kepada orang tua, suatu hal yang
juga lazim di kalangan kristiani walaupun dengan cara yang berbeda. Namun di
sisi lain, Ricci juga tetap memegang teguh ajaran kristiani dan tidak
mentolelir segala hal, karena itu dia menilai bahwa ritus pemakaman Cina
mengandung unsur tahayul dan bertentangan dengan iman kristiani.[36]
Karya Ricci tidaklah semata-mata ditujukan bagi kaum
terpelajar. Orang pertama yang menerima iman katolik di Beijing adalah orang sederhana; rakyat
jelata. Hal ini dapat terjadi karena Ricci melebur dengan kehidupan orang Cina
di sekitarnya. Dia menunjukkan itikad baik dalam membina persahabatan dengan
siapa saja, dan tidak mengecam kepercayaan ataupun adat kebiasaan setempat.
Ketika Ricci wafat (1610), di seluruh Cina tercatat 2.000 orang Katolik dan
semuanya terdapat di sekitar tempat-tempat tinggal yang pernah dia dirikan.[37]
Sikap Ricci yang toleran dan memajukan metode dialog
dalam menghadapi budaya Cina diteruskan oleh para misionaris Yesuit setelah
beliau wafat. Namun, sikap para misionaris Yesuit tersebut menimbulkan
pertikaian dengan para misionaris Dominikan dan Fransiskan yang memandang ritus
Cina sebagai budaya kafir dan bersifat tahayul. Karena itu para Dominikan dan
Fransiskan lebih memilih memperkenalkan iman kristiani secara langsung
sekaligus memvonis kepercayaan yang dianut bangsa Cina adalah sesat dan bahwa
Allah yang satu dan benar adalah Allah orang Kristen, walaupun dengan resiko
penyiksaan dan kematian. Tidak mengherankan bila mereka mempersalahkan apa yang
dilakukan para Yesuit karena mereka berpendapat bahwa para Yesuit terlalu
lambat dan toleran. Mereka mengirimkan laporan-laporan ke Eropa bahwa para
Yesuit menutup-nutupi kebenaran kristiani, karena itu mereka perlu dihukum
bahkan disingkirkan.[38]
Sikap anti toleransi tersebut mendapatkan legitimasi
dari takhta suci dengan dikeluarkannya konstitusi “Exilla Die” (Paus Klemens
XI) dan “Ex Quo Singulari” (Paus Benediktus XIV) yang mengecam dan melarang
umat kristen Cina untuk mempraktekkan upacara-upacara tradisional. Pelarangan
ini berlangsung selama hampir dua abad dan juga berlaku bagi orang kristen Cina
perantau. Setelah dua abad lamanya, Roma meninjau kembali ritus dan seremoni
Cina serta berkonsultasi dengan dengan pemerintahan Cina yang mengalami
perkembangan mentalitas sehingga sejumlah ritus dan seremoni kehilangan makna
religiusnya. Melalui instruksi baru yang dikeluarkan oleh Kongregasi Suci
Perkembangan Iman yang ditujukan bagi Jepang, Manchuria,
dan Cina (1935-1941), Roma menunjukkan toleransi yang besar terhadap ritus
Cina.[39]
Sikap
Gereja Katolik terhadap ritus Cina sekarang tidak lagi melulu berupa dialog
dalam rupa toleransi tetapi sudah mencakup inkulturasi. Dengan kata lain gereja
mengakui bahwa dalam setiap kebudayaan manusia terdapat nilai-nilai positif
yang dapat diintegrasikan ke dalam kehidupan kristiani (bdk. Ad Gentes no.9).
Gereja Katolik bersikap selektif dalam menentukan sikap terhadap ritus dan
seremoni Cina. Gereja tetap tidak membenarkan penghormatan kepada roh-roh,
penyembahan tahayul dan penyembahan berhala karena bertentangan dengan iman
kristiani. Gereja memperbolehkan sejumlah ritus, namun dengan catatan bahwa
sikap tersebut tidak menyimpang dari batas ukur atau bertentangan dengan iman
kristiani.[40]
V. Penutup
5.1
Kesimpulan
Penulis sangat terkesan dengan perjuangan Matteo Ricci
dalam upaya mewartakan kabar gembira Kristus di Cina. Bagi penulis, Ricci
menyumbangkan satu pemikiran yang sangat berharga bagi perkembangan Gereja
Katolik yaitu konsep dialog dengan itikad baik disertai sikap terbuka dan penuh
kerja sama yang melibatkan seluruh entitas hidup dan budaya. Ricci tidak
memaksakan kebenaran secara sepihak, tetapi dengan lugasnya masuk ke dalam alam
pemikiran setempat, dan dari dalam alam pemikiran tersebut dia jalankan misi
Gereja universal; suatu evangelisasi yang lebih natural, evangelisasi yang
menunjukkan habitus kasih kristiani.
Penulis sungguh mengharapkan bahwa tulisan ini dapat,
setidaknya, menyumbangkan ide berdialog antar agama sekaligus budaya di tengah
bangsa Indonesia.
Tidak dapat disangkal, bahwa Indonesia
merupakan negara dengan pelbagai suku bangsa dan budaya yang tidak dapat
disamakan satu sama lain begitu saja. Metode evangelisasi ala Matteo Ricci yang
menekankan pendekatan personal dari segi budaya dan pengetahuan dapat dijadikan
salah satu contoh acuan dalam mengembangkan pola berdialog.
5.2
Refleksi Penulis
Karya
misi Matteo Ricci merupakan satu hal yang menarik untuk direfleksikan oleh para
calon imam. Kesetiaan, kerendahan hati dan semangat untuk belajar dan berbagi
yang dimiliki Matteo Ricci merupakan senjata utama dalam karya pelayanannya. Ia
juga tidak patah semangat ketika berhadapan dengan persoalan-persoalan yang
datang dari tubuh Gereja sendiri dan juga dari budaya masyarakat setempat.
Perkembangan
teknologi dan ilmu pengetahuan dewasa ini, menjadi tantangan tersendiri bagi
para calon pewarta kabar gembira. Perkembangan imu pengetahuan dan teknologi
itu serentak membawa perubahan pada pola pikir masyarakat. Masyarakat akan
menjadi lebih kritis terhadap segala sesuatu, dalam hal ini mengenai pewartaan
kabar gembira itu sendiri. Untuk itu, para calon pewarta kabar gembira perlu mempersiapkan
diri sidini mungkin. Persiapan itu mencakup pengetahuan teoritis mapun praksis
dan juga dalam hal mental, sehingga para calon pewarta tersebut mampu untuk
melihat, membaca situasi dan mampu untuk merumuskan metode yang tepat dalam
karya pewartaannnya. Akan tetapi, relasi, semangat dan ketekunan juga merupakan
hal yang perlu karena tanpa hal itu seseorang akan mudah jatuh dalam
keputusasaan.
Relasi
itu menuntut komunikasi. Komunikasi yang baik akan mempermudah seseorang dalam
karya pewartaan dan akan memudahkan umat Allah untuk meneriman pewartaan itu.
Komunikasi tidak hanya dilakukan dengan para pemimpin daerah tetapi juga dengan
rekan pewarta. Jika tidak, akan muncul persiangan diantara para pewarta. Para pewarta sendiri akan saling menjatuhkan satu sama
lain dan menganggap bahwa person atau kelompoknya yang lebih baik. Dengan
demikian, hakekat pewartaan itu menjadi pudar. Orang atau kelompok tertentu
akan lebih giat mempopulerkan diri demi mendapat kepercayaan untuk menggemlakan
umat Allah.
Menjadi
suatu hal yang baik, jika dipercayakan untuk menggembalakan umat Allah. Akan
tetapi, hal utama yang perlu untuk diperjuangkan ialah pewartaan kabar gembira
bagi umat Allah. Namun, tidak dipungkiri lagi bahwa karya pewartaan juga dipakai
sebagai lahan bisnis oleh para pewarta dewasa ini. Para
pewarta tertentu akan lebih bersemangat untuk melaksanakan tugas pewartaan,
jika ditempatkan didaerah yang mampu mendatangkan keuntungan finansial baginya.
Karya
pewartaan Matteo Ricci hendaknya menjadi cerminan bagi calon pewarta kabar
gembira. Persiapan diri dalam hal pendidikan perlu untuk di tingkatkan,
sehingga para calon pewarta tersebut akan menjadi pewarta kabar gembira yang
handal. Pewarta yang lebih mengutamakan pewartaan kabar gembira dari pada hal
yang berkaitan dengan materi. Pewarta juga hendaknya mengadakan hubungan baik
dengan semua orang yang terlibat dalam karya pewartaan, sehingga tidak
memunculkan persaingan diantara para pewarta sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Balela, Yoseph S. Filsafat Timur. Sinaksak: STFT St.
Yohanes, 2005. (Diktat).
Creel, H. G. Alam Pemikiran Cina; Sejak Confusius sampai Mao Zendong. diterjemahkan
oleh Soejono Soemargono Yogyakatra: Tiara Wacana Yogya, 1989.
F. Ryan, Thomas. Yesuit di Cina. Yogyakarta: Kanisius,
1993.
Moffet, Samuel. A History of
Christianity in Asia vol II. New York:
Harper Collins Publisher. 1992.
Schie, G Van. Manusia Segala Abad: Pencari serta Pencipta Makna Hidupnya. Jakarta:
Obor, 1996.
Spence, J. D. The Memory Palace of Matteo Ricci.
London: Faber and Faber, 1985.
Wegig, R. Wahana. Pewartaan Iman Kontekstual. Yogyakarta:
Kanisius, 2001.
.
[1] R.
Wahana Wegig, Pewartaan Iman Kontekstual
(Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 7.
[2]
Thomas F. Ryan, Yesuit di Cina
(Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 7.
[3] R.
Wahana Wegig, Pewartaan …, hlm.
33-34.
[4] R.
Wahana Wegig, Pewartaan …, hlm.
34-35.
[5]
Thomas F. Ryan, Yesuit …, hlm. 17-18.
[6] R.
Wahana Wegig, Pewartaan …, hlm. 135.
[7] G
Van Schie, Manusia Segala Abad: Pencari
serta Pencipta Makna Hidupnya (Jakarta: Obor, 1996), hlm. 14-15.
[8] R.
Wahana Wegig, Pewartaan …, hlm. 12.
[9] R.
Wahana Wegig, Pewartaan …, hlm.
30-32.
[10]
R. Wahana Wegig, Pewartaan …, hlm.
32.
[11]
R. Wahana Wegig, Pewartaan …, hlm.
21.
[12] Kebudayaan
Timur yang dimaksud di sini ialah kebudayaan Taoisme, Konfusius, Buddha, Hindu,
dan Shintoisme. Mereka ingin mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan lewat hidup
menurut alam, yoga, dan lain sebagainya. Bdk. Yoseph S. Balela, Filsafat Timur (Sinaksak: STFT St.
Yohanes, 2005), hlm. 2. (Diktat).
[14]
R. Wahana Wegig, Pewartaan …, hlm.
16.
[15]
H. G. Creel, Alam Pemikiran Cina; Sejak
Confusius sampai Mao Zendong, diterjemahkan oleh Soejono Soemargono
(Yogyakatra: Tiara Wacana Yogya, 1989), hlm. 29.
[16]
H. G. Creel, Alam Pemikiran Cina …, hlm.
49.
[17]
H. G. Creel, Alam Pemikiran Cina …, hlm.
36
[18]
J. D. Spence, The Memory Palace of Matteo
Ricci (London: Faber and Faber, 1985), hlm. 134.
[19]
J. D. Spence, The Memory Palace
…, hlm. 135.
[20]
J. D. Spence, The Memory …, hlm.
135-136.
[21]
J. D. Spence, The Memory …, hlm.
136-137.
[22]
Thomas F. Ryan, Yesuit…, hlm. 18-19.
[23] Samuel
Moffet, A History of Christianity in Asia
vol II (New York: Harper
Collins Publisher. 1992), hal, 106.
[24] Samuel
Moffet, A History …, hal.
106.
[25] Samuel
Moffet, A History …, hal.
107.
[26]
R. Wahana Wegig, Pewartaan …, hlm.
63.
[27]
R. Wahana Wegig, Pewartaan …, hlm.
96.
[28] Samuel
Moffet, A History …, hal,
110.
[29] Samuel
Moffet, A History …, hal,
111.
[30] Samuel
Moffet, A History …, hal.
111-115.
[31] Samuel
Moffet, A History …, hal.
116.
[32]
R. Wahana Wegig, Pewartaan …, hlm.
81-82.
[33]
R. Wahana Wegig, Pewartaan …, hlm.
84.
[34]
R. Wahana Wegig, Pewartaan …, hlm.
85-86.
[35]
R. Wahana Wegig, Pewartaan …, hlm.
87-88.
[36] Samuel Moffet, A History …, hal. 120.
[37]
Thomas F. Ryan, SJ., Yesuit..., hlm.
30.
[38] Samuel
Moffet, A History …, hal.
121.
[39] Samuel
Moffet, A History …, hal.
121-122.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar