Sabtu, 03 Desember 2011

Lao Tze


 Jalan Menuju Kesempurnaan Menurut Lao Tze

I. Pengantar

            Manusia adalah makhluk sosial. Manusia selalu hidup berdampingan dengan sesama dalam masyarakat. Proses kehidupan individu dalam masyarakat bertujuan untuk memanusiakan dirinya, karena manusia merupakan makhluk yang menuju diri menjadi diri yang sejati.[1][1] Proses menuju diri yang sejati dan menjadi diri yang sejati merupakan proses yang selalu harus diupayakan selama hidup manusia.
            Proses menuju diri dan menjadi diri yang sejati tidak semudah membalik telapak tangan. Manusia dalam proses kehidupannya selalu berhadapan dengan pertentangan dan perselisihan dengan sesama. Karena itu, dalam proses menuju dirinya yang sejati dalam interaksinya dengan sesama, manusia terlibat dalam pertentangan dan perselisiahan yang melahirkan ketidaktentraman dan ketidakdamaian dalam hidupnya. Persoalan ini terus dihadapi manusia, meskipun manusia pada hakekatnya sangat merindukan kedamaian dalam interaksinya dengan sesama.
            Lao Tze mengatakan bahwa, persoalan tersebut diakibatkan karena manusia jauh dari Tao. Lao Tze mengajarkan “jalan bagi manusia untuk hidup sempurna sebagai manusia adalah hidup selaras dengan Tao”. Tao sebagai jalan menuju kesempurnaan secara real ditampakkan dalam kehidupan manusia. Penghayatan Tao dalam kehidupan manusia itu diupayakan dalam bidang etika dan pengetahuan. Penghayatan Tao dalam bidang etika dilaksanakan oleh individu  dan negara untuk menciptakan ketentraman dan kesempurnaan hidup. Kedua bidang tersebut harus dilaksanakan manusia tetapi harus disesuaikan dengan hukun kodrat. Karena itu, prinsip “tidak bertindak” sangat ditekankan agar manusia bisa kembali kepada Tao. Tidak bertindak berarti membiarkan alam bekerja seturut kodratnya sendiri dan manusia hanya mengikuti dan menemukan diri didalamnya. Inilah yang disebut dengan prinsip Wu wei.
           
II. Lao Tze; Sekilas Pandang

            Situasi masyarakat Cina pada abad ke VI Seb.m sungguh memprihatinkan. Peperangan yang mengandung ketamakan dan nafsu untuk berkuasa melahirkan penderitaan yang besar bagi masyarakat pada saat itu. Situasi yang memprihatinkan ini sedikit disegarkan oleh tampilnya Lao Tze dengan ajaran Taonya. Ia mengajarkan pentingnya kehidupan yang sederhana dan harmonis. Suatu bentuk kehidupan, dimana motif mencari untung mesti dilepas, kepandaian mengambil jarak, pemusatan dirinya sendiri dilenyapkan dan nafsu disurutkan serta diatur. Tujuannya, agar kedamaian dan kebahagiaan dapat dicapai dan dirasakan oleh setiap individu.[2][2]
Akan tetapi siapakah itu Lao Tze?
            Lao Tze secara hurufiah berarti “Empu Tua”. Masyarakat Cina dalam tradisinya yakin bahwa, Lao Tze dilahirkan di negara Ch’u, letaknya didaerah yang saat ini disebut propinsi Honan. Ia lahir pada abad ke VI Seb.m. Ia juga yang menggagas dan membawa ajaran Tao.[3][3] Akan tetapi, riwayat hidupnya tidak banyak dikisahkan oleh penulis. Dua sejarawan ternama Ssu-ma Tan dan Ssu-ma Chien menuliskan riwayat hidup Lao Tze dalam kitab sejarah sh-ci. Kedua sejarawan tersebut adalah ayah dan anak. Karya kedua sejarwan inilah yang menjadi sumber utama tentang riwayat hidup Lao Tze.
            Interaksi dengan sesama tidak menjadi patokan utama bagi manusia untuk memanusiakan dirinya. Ia menekankan perlunya kembali kejalan alam. Tao menekankan harmonisasi dalam interaksi manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Individu, tanpa harmonisasi dengan yang diluar dirinya, proses menuju diri dan menjadi diri yang sejati mustahil untuk dicapai.
                       
III. Jalan Menuju Kesempurnaan
3.1 Tao dalam Alam

            Tao merupakan hal yang tidak dapat dijelaskan dengan nama atau kata-kata, tidak dilihat atau disentuh secara langsung. Alam merupakan salah satu unsur yang bisa menjelaskan Tao. Tao mengekspresikan diri dalam alam. Jika kita hidup selaras dengan alam berarti kita hidup selaras dengan Tao. Seluruh proses alam terjadi secara spontan. Siang berganti malam, pohon tumbuh, bungan bermekaran dan sebagainya. Naluri dimiliki oleh setiap makhluk hidup secara sendiri-sendiri, membimbing kebiasaan unik dan gaya hidup mereka sendiri. Tanpa campur tangan manusia makhluk hidup tahu akan bagaiman cara untuk menjalani hidup dan melakukan apa yang harus dilakukan. Ekspresi dari sifat alamiahnya sendiri menunjukan keselarasannya dengan Tao.[4][4]
            Manusia memiliki kepribadian individual sendiri-sendiri. Ekspresi kemanusiaan universal yang dilakukan manusia bisa mengikuti Tao. Tao diekspresikan melalui bakat khusus dan kepribadian yang dimiliki oleh masing-masing individu.[5][5]

3.2 Penghayatan Tao dalam Bidang Etika
            Lao Tze mengajarkan orang untuk mengenal hukum-hukum kodrat. Hukum kodrat bersifat tetap. Jika kita tidak mengenal yang tetap dan bertindak sewenang-wenang tanpa melihat hukum, kita akan terjerumus dalam bencana. Mengenal dan bertindak sesuai dengan hukum itulah jalan yang harus dilalui manusia untuk memperolah ketentraman dan mencapai tujuan-tujuannya. Penghayatan dan penyelarasan diri dengan Tao akan membawa orang pada kesempurnaan hidup, karena sesuai dengan hukum kodrat. Kesesuaian dengan hukum kodrat didasarkan pada prinsip Wu wei.          [6][6]
            Wu wei adalah prinsip hidup. Prinsip ini megajak manusia untuk melakukan tindakan atau sikap “tidak bertindak”. Aneh bagi manusia untuk memikirkan prinsip ini. Manusia  Lao Tzu adalah manusia yang berprinsip Wu wei sebagai akibat pilihan hidup untuk hidup seturut dan selaras dengan Tao. Tao adalah prinsip dan kekuatan dalam menjalankan kehidupan sebagai manusia yang murni. Dengan menjalankan Wu wei manusia dihadapkan pada situasi yang kurang lebih sama dengan Tao, tidak terikat dengan ruang dan waktu. Manusia Wu wei adalah manusia yang alami, karena Wu wei adalah manusia yang tidak melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan alam atau kodrat. Wu wei adalah sikap membiarkan alam bekerja sesuai dengan hukumnya dan manusia hanya mengikuti dan menemukan diri didalamnya. Prinsip tanpa tindakan tergantung pada keyakinan yang mendalam terhadap naluri alami. Dorongan dan naluri alami telah ada dalam diri kita. Jika kita membiarkan semua itu berkembang, kita cenderung untuk dapat mewujudkan potensi yang ada.[7][7] Inilah sikap kelepas-bebasan terhadap segala sesuatu. Inilah maksud dari sikap tidak bertindak.
            Di sisi lain, Lao-Tze sangat menekankan enam sikap penting yang harus diperjuangkan oleh setiap individu dalam kehidupan ini.[8][8] Keenam sikap tersebut ialah: 
            1.      Kesederhanaan
Kesederhanaan merupakan pola, hidup yang sesuai dengan Tao. Kesederhanaan merupakan pola hidup yang harus diupayakan, karena dengan hidup sederhana orang dapat menikmati hidup yang aman dan damai. Kesederhanaan berarti menyatukan diri dengan kodrat alam tanpa tindakan berlebih-lebihan yang justru dapat membuat manusia kehilangan. Ajaran hidup sederhana mengajak orang untuk kembali pada Tao. Orang yang tidak mampu menghayati hidup sederhana akan menjauhkannya dari Tao. Karena itu, ia mengatakan;
                        “tak ada kesalahan yang lebih besar dari pada banyak keinginan
 tak ada bahaya yang lebih besar dari pada tak kenal cukup
 tak ada bencana lebih besar dari pada ingin mendapat
 maka itu:
 kalau tau cukup itu sudah cukup, akan selama-lamanya cukup”.[9][9]
            Dengan demikian, Lao Tze mengajak orang untuk menghayati hidup sederhana dan menghindarkan sikap hidup berlebih-lebihan, karena bisa memisahkan orang dari Tao dan pada akhirnya akan mendapat bencana.
2. Rendah hati.
Lao Tze mengatakan, manusia harus mengupayakan sikap rendah hati, jika tidak, manusia akan terjebak dalam sikap angkuh, dan sombong. Sikap rendah hati diibaratkan dengan ruang kosong. Dalam ruang kosong terdapat kegunaan yang bermanfaat serta mengntungkan. Dengan mengosongkan diri berarti orang mempercayakan diri pada Tao, karena Tao adalah jalan dan penyelenggara  segala sesuatu. Dengan demikian, kerendahan hati akam membawa seseorang kembali kepada Tao.[10][10]
3. Ingkar diri
Ingkar diri merupakan sikap mau menyangkal diri dari segala keinginan yang muncul dalam diri setiap individu. Sikap ini selaras dengan Tao karena dengan sikap ini seseorang tidak memuliakan dirinya tetapi lebih melihat kepapaannya. Dengan demikian, orang yang memiliki sikap ingkar diri akan mempercayakan dirinya kepada Tao dan akan hidup seturut kodrat alam.[11][11]
4. Cinta Sesama
Cinta merupakan hal penting yang harus dimiliki oleh setiap individu. Cinta merupakan suatu ungkapan dalam penghayatan akan Tao. Sikap cinta ini tidak terbatas pada diri sendiri, melainkan harus dimengerti secara luas. Artinya, cinta harus diwujudnyatakan dalam keluarga, masyarakat dan negara. Maka, sikap yang penting disini ialah kejujuran.[12][12]
5. Waspada
Sikap ini merupakan upaya untuk melestarikan kehidupan dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Sikap ini selaras dengan Tao karena dengan waspada seseorang tidak banyak mengeluarkan energi untuk bertindak. Karena itu, seseorang memiliki banyak energi atau tenaga dalam dirinya.[13][13]
6. Jujur
Tao dengan ajaran Wu weinya mengajarkan orang untuk tidak bertindak maupun tidak banyak berbicara. Lao Tze menekankan agar tindakan nyata dan kejujuran dihidupi oleh setiap individu. Kejujuran dan tindakan nyata lebih penting dilaksanakan dari pada banyak berbicara yang justru banyak menghabiskan energi.[14][14]

3.3 Prinsip Tanpa Tindakan Dalam Pemerintahan
           
            Pemerintahan merupakan salah satu bidang kehidupan yang sangat diminati Lao Tze. Suatu pemerintahan akan mencapai kedamaian dan kesejahteraan, jika pemerintah menekankan prinsip tidak bertindak dalam pemerintahannya. Lao Tze mengatakan,  pemerintahan yang paling sedikit memerintah adalah pemerintahan yang paling baik, karena penguasa membiarkan rakyat berkembang. Seperti yang dikatakan Lao Tze, “memerintah negeri yang besar sama saja dengan memasak ikan kecil”.  Kita semua mengetahui bahwa ikan yang kita masak, kalau sering dibolak-balik, ikan itu akan hancur. Begitu pula, pemerintahan yang mencampuri kehidupan rakyatnya hanya akan menimbulkan persoalan.[15][15]
            Terlalu banyak hukum dan pembatasan yang rumit dalam pemerintahan akan mengakibatkan persoalan dalam pemerintahan. Hukum dan larangan yang ketat akan menciptakan sikap menentang, pemberontakan dan kemiskinan. Jadi semakin banyak hukum yang ditetapkan, akan semakin banyak pula pencuri.
                        semakin banyak larangan, semakin banyak ritual yang dihindari,
 akan semakin melarat pula rakyat
semakin banyak hukum yang ditetapkan, akan semakin banyak pencuri.
Karena itu, orang bijak berkata:
Selama aku Tidak melakukan apapun, rakyat akan mengentaskan diri”.[16][16]
Dengan demikian, Lao Tze mau memperlihatkan bahwa seorang pemimpin harus mengenali rakyatnya. Merupakan hal yang sulit jika pemerintah atau penguasa harus mengenali rakyatnya. Pemerintah harus mengenali rakyat tidak secara lahiriah tetapi yang dimaksud adalah mengenali nilai yang terkandung didalam masyarakat itu sendiri. Karena itu, sangat penting bagi pemerintah untuk memfasilitasi kemampuan rakyatnya dan membiarkan mereka melaksanakan hidup dan realitas yang mereka hadapi. Jika demikian, rakyat akan mengembangkan bakatnya dan seluruh negeri akan memperoleh faedahnya.[17][17]
            Prinsip tanpa tindakan dalam pemerintahan yang dimaksud adalah pemerintah harus dengan tulus memperhatikan orang yang diperintahnya. Pemerintah harus mengurus persoalan negeri dan rakyat dengan serius, namun tenang. Dengan demikian, mereka akan mendapatkan suasana jernih sebagai sumber dari keputusan pemerintah yang bijaksana. Jadi, prinsip tanpa tindakan bukan berarti pemerintak tidak peduli dengan rakyat atau bertindak sewenang-wenang dalam pemerintahannya.[18][18]





[1][1] http://www.epochtimes.co.id/china.php?id=663


[2][2] R. B Blackney, The Way of Life Lao Tze, New York: Mentor Book, 1995. hlm. 80.

[3][3] R. B Blackney, The Way …, hlm. 81.
[4][4] Alexander Simpkins dan Annellen Simpkins, Simple Taoism; Tuntunan Hidup dalam Keseimbangan, Jakarta: P.T Bhuana Ilmu Populer, 2006. hlm. 73-74.

[5][5]Alexander Simpkins dan Annellen Simpkins, Simple Taoism…, hlm. 76.

[6][6]  H.G Creel, Alam Pikiran Cina (Judul Asli: Chinese Thought). Penerjemah: Soejono Soemargono, Yogyakarta: P.T. Tiara Wacana, 1950. hlm. 84.

[7][7] H.G Creel, Alam Pikiran Cina…, hlm. 86
[8][8] Lao Tze, Tao-Te-Ching. (Penerjemah: Tjan Tjoe Som, Jakarta: Bharata, 1962. hlm. 40.
[9][9]  Lao Tze, Tao-Te-Ching…, hlm. 41.

[10][10] Lao Tze, Tao-Te-Ching…, hlm. 61.
[11][11] Lao Tze, Tao-Te-Ching…, hlm. 66.
[12][12] Lao Tze, Tao-Te-Ching…, hlm. 71.
[13][13] Lao Tze, Tao-Te-Ching…, hlm. 87.
[14][14] Lao Tze, Tao-Te-Ching…, hlm. 91.
[15][15] Alexander Simpkins dan Annellen Simpkins, Simple Taoism…,  hlm. 85-86.
[16][16] Alexander Simpkins dan Annellen Simpkins, Simple Taoism…,  hlm. 87.

[17][17] Alexander Simpkins dan Annellen Simpkins, Simple Taoism…,  hlm. 88.

[18][18] Alexander Simpkins dan Annellen Simpkins, Simple Taoism…,  hlm. 88

Tidak ada komentar:

Posting Komentar