Sabtu, 03 Desember 2011

LUDWIG WITTGENSTEIN


LUDWIG WITTGENSTEIN
BAB I
Pendahuluan

 “Tugas filsuf adalah mengadakan klarifikasi aneka penggunaan kata dan mengadakan verifikasi, apakah penggunaan kata dalam keadaan tertentu itu tepat atau keliru, bermakna atau tidak”. [1]
Kalimat tersebut adalah salah satu buah pikiran Wittgenstein. Apa yang terkandung dalam kalimat tersebut merupakan suatu pemikiran mengenai tugas para filsuf. Penulis adalah orang-orang yang sedang belajar tentang Logika dan Bahasa sekaligus mahasiswa filsafat. Maka, pemikiran Wittgenstein tersebut menjadi sebuah daya tarik untuk semakin memperdalam pemikiran-pemikiran filosofis Wittgensteins sekaligus menjadi sebuah peyadaran akan tugas seorang filsuf.
Ludwig Wittgenstein adalah salah seorang filsuf yang menggeluti filsafat bahasa. Dia menggeluti masalah bahasa dan makna. Dia mengembangkan pemikiran-pemikirannya ini di Inggris. Bidangnya meliputi: analisis atas kalimat-kalimat atau proposisi-proposisi, dan logika. Oleh karena itu, filsafatnya ini disebut juga linguistic-analysis. .[2]
            Tulisan ini hendak menyajikan beberapa pemikiran Wittgensteins dalam kedua bukunya dan refleksi atas pemikiran-pemikiran Wittgenstein tersebut.

BAB II

Riwayat Hidup


Ludwig Wittgenstein lahir di Wina-Austria, 26 April 1889 sebagai anak bungsu dari delapan bersaudara. Ayahnya adalah seorang insinyur yang berasal dari famili Yahudi yang telah memeluk agama protestantisme, sedangkan ibunya beragama katolik. Musik memegang peranan penting dalam hidupnya, sebab rumah mereka menjadi semacam pusat musik di Wina. Ia tahu memainkan klarinet dan pandai bersiul yang membuat banyak orang tertarik. Pada tahun 1906, ia belajar di Sekolah Tinggi Teknik di Manchester (Inggris). Ia mulai tertarik pada matematika dan filsafat matematika karena tuntutan pelajaran teknik pesawat terbang (aeronautika). Pada tahun 1912, ia belajar di Universitas Cambridge tentang filsafat di bawah bimbingan Betrand Russell. Pada tahun yang sama, ayahnya meninggal, sehingga ia mewarisi semua harta ayahnya, tetapi ia memberikannya kepada orang lain, yakni para seniman.
Pada saat perang dunia, ia pulang ke Tanah Airnya dan menjadi tentara sukarela Austria. Selama itu, dia menulis buku tentang filsafat yang selesai pada tahun 1918. Ia juga pernah menjadi tawanan perang Italia yang dibebaskan pada tahun 1919. Tahun 1921 diterbitkan bukunya berjudul ,”Logich- philosophiche Abhandlungen”.[3]
Dia juga pernah kursus untuk mengambil ijazah guru, kemudian dia menjadi guru sekolah dasar di pelbagai desa terpencil di Austria hingga tahun 1926. Lalu, ia menjadi tukang kebun di biara Hutteldorf selama beberapa waktu. Tahun berikutnya dia membantu arsitek bangunan dan akhirnya dia sendiri merancang rumah adik perempuannya. Pada tahun 1926, minatnya untuk belajar filsafat dihidupkan lagi, setelah ia kembali ke Cambridge. Bukunya yang berjudul Tractatus menjadikannya seorang doktor filsafat sehingga ia dapat mengajar di Trinity College. Ia banyak mengikuti diskusi-diskusi dengan orang-orang yang cemerlang pemikirannya, seperti Frank Ramsey.
Pada tahun 1936, ia meluangkan waktunya untuk menuliskan pemikiran-pemikirannya yang cemerlang itu, sehingga terbitlah bukunya yang berjudul Philosopical Investigations. Penampilan bukunya yang kedua ini cukup berbeda dari yang pertama, yang pertama kali terbit pada tahun 1953. Tahun 1938, ia menggantikan Moore sebagai profesor di Trinity College.[4] Ia meninggalkan profesornya untuk menyelesaikan bukunya yang berjudul  Philosopical Investigations pada tahun 1947. Ia meninggal dunia di Cambridge pada tahun 29 April 1951 akibat serangan kanker.
Dalam perjalanan hidup, Wittgenstein cukup banyak mengalami depresi psikis sampai-sampai ia hendak bunuh diri beberapa kali. Sebenarnya, dia selalu diambang penyakit jiwa. Ia sungguh merasa takut terkena penyakit itu. Maka, ia mencari solusi dengan belajar filsafat dan mengakuinya bahwa filsafat adalah jalan paling baik untuk mengatasi depresinya.

BAB III
Wittgenstein I: Tractatus Logico-Philosophicus[5]
Buku ini ditulis oleh Wittgenstein pada saat terjadi perang. Kendati ia menghadapi situasi yang kurang nyaman, tetapi ia tetap meluangkan waktunya untuk menuliskan pemikiran-pemikirannya. Dia mengatakan bahwa buku Tractatus itu acap kali filsafatnya tidak dimengerti , bahkan oleh murid-muridnya dan juga sahabat-sahabatnya.[6] Buku ini tidak terlalu panjang, tidak lebih dari 75 halaman. Buku tersebut telah disusunnya sedemikian rupa. Pernyataan-pernyataannya agak pendek, namun tidak mudah dimengerti. Hal ini disebabkan karena Wittgenstein kerap menuliskan kesimpulan pemikiran-pemikirannya   tanpa menyebutkan argumentasi-argumentasi dan alasan-alasan yang menghantarkannya pada kesimpulan itu. Pemikiran Wittgensteins tersebut juga sulit dibedakan dengan pemikiran Russell.
Tujuan bukunya yang pertama adalah untuk memberikan syarat umum bahasa yang bermakna. “Bagaimanakah seharusnya dunia kalau bahasa harus mempunyai makna tertentu?” merupakan pertanyaan utama yang digeluti dalam bukunya yang pertama. Beberapa pemikirannya dalam bukunya ini adalah sebagai berikut:

1.       Bahasa Logika[7]
            Witgeinstein dalam merumuskan persoalan filsafat, bertitik tolak pada bahasa logika. Ia berpendapat bahwa kesalahpahaman mengenai bahasa logika merupakan benturan besar dalam perumusan persoalan filsafat tersebut. Ia  punya maksud untuk menjernihkan kesalahpahaman yang dibuat oleh para pendahulunya yaitu tentang struktur logik proposisi, serta kesimpulan logik mengenai realitas.
            Penyebab utama kekacauan bahasa dalam filsafat adalah tidak adanya tolok ukur yang dapat menentukan apakah suatu ungkapan bermakna atau tidak, maka perlulah membuat suatu kerangka bahasa yang logis. Dengan demikian, Witgeinstein menyusun suatu kerangka bahasa logika bagi filsafat.
            Proposisi dan persoalan utama yang terdapat dalam filsafat sebelumnya, menurut Witgeinstein bukanlah salah tetapi lebih menyangkut pemahaman. Dengan perkataan lain, tidak terfahami. Sudah barang tentu jawaban akan tidak serupa pada suatu persoalan yang sama. Jadi persoalan itu tetap saja tinggal seperti bentuk semula karena tidak terfahami.
            Persoalan dan proposisi di atas sangat masuk akal karena filsuf-filsuf terdahulu tidak mengerti bahasa logika. Sesuatu yang tidak logik tentu tidak dapat kita pikirkan karena hal itu akan membuat kita berfikir  tidak logik pula.
            Dengan menggunakan bahasa logika yang sempurna, itu berarti bahwa kita memakai alat-alat bahasa – kata dan kalimat- secara tepat, sehingga setiap kata hanya memiliki suatu fungsi tertentu saja dan setiap kalimat hanya mewakili suatu keadaan faktual saja.
            Bahasa logika yang sempurna itu tentu saja mengandung aturan sintaksis sehingga mencegah ungkapan tidak bermakna, dan mempunyai simbol tunggal yang selalu bermakna unik dan terbatas.
            Jadi, fungsi filsafat menurut Witgeinstein adalah menunjukkan sesuatu yang tidak dapat dikatakan (atau dipikirkan) dengan menghadirkan secara jelas sesuatu yang dapat dikatakan. Maka menurut dia, suatu karya filsafat haruslah mengandung penjelasan sehingga ungkapan-ungkapan yang terkandung di dalamnya bukan melulu ungkapan-ungkapan filsafat tetapi membuat ungkapan itu menjadi jelas.
            Bagaimana hal itu dilakukan oleh Witgeinstein adalah dengan menentukan kesesuaian antara struktur bahasa dengan struktur realitas atau lebih dikenal dengan teori gambar (the picture theory).

2.       Teori Gambar atau Mosaik
                Teori gambar merupakan pandangan yang menganggap adanya hubungan mutlak antara bahasa dengan realitas atau dunia fakta. Dia berpendapat bahwa bahasa menggambarkan realitas dan melalui bahasa dapat menggambarkan suatu keadaan yang faktual dalam realitas. Kita dapat memahami lebih jelas pemahamannya dengan bertitik-tolak pada kalimat: “apa yang memang dikatakan, dapat dikatakan dengan jelas dan orang harus berdiam diri tentang suatu hal yang tak bisa dikatakan”.
            Bagi Wittgenstein, unsur mutlak yang diperlukan untuk mendukung sebuah ungkapan yang bermakna adalah suatu bentuk peristiwa ataupun suatu keadaan yang berdasar pada fakta.
            Menurutnya, sebuah proposisi harus dapat menunjukkan pengertian tertentu tentang realitas, sehingga seseorang yang dihadapkan pada proposisi seperti itu hanya perlu mengatakan “ya” atau “tidak” untuk menyetujui realitas yang dikandungnya. Maka nampaklah bahwa pengertian proposisi semula yang diungkap oleh Aristoteles dalam lingkup logika kembali dihadirkan oleh Wittgenstein. Mengapa demikian?
            Sebelumnya, pemakaian proposisi disalahgunakan pemakaiannya untuk mengungkapkan sesuatu yang tak terkatakan sehingga tidak dapat mengatakan “ya” atau “tidak”  terhadap kemungkinan realitas yang dikandungnya. Bagi dia, pengertian sebuah proposisi terletak pada situasi yang digambarkan atau dihadirkan di dalamnya.
Bahasa berkonfigurasi sejajar dengan dunia. Antara keduanya terdapat hubungan yang bersifat biunivok dengan setiap objek yang difigurkan. Tanpa hubungan ini, bahasa tidak mempunyai arti atau makna. Menurut teori gambar, sebuah pernyataan yang mempunyai makna perlu menunjukkan bentuk logis tertentu yang disusun sedemikian rupa, sehingga nama-nama (kata-kata) yang menyusun perkataan itu dapat berkaitan dengan objek yang mau diacu oleh nama-nama itu, dalam situasi dimana eksistensi mengakui pernyataan itu benar. Menurut Wittgenstein, pernyataan menyampaikan situasi kepada kita. Oleh karena itu,  hal tersebut harus dimasukkan. Caranya adalah dengan gambaran logis. Pernyataan menyatakan sesuatu hanya dalam ukuran gambar. Tetapi Wittgenstein tidak berbicara jelas mengenai kriteria makna.
Wittgenstein berpedapat bahwa bahasa merupakan gambaran dunia, tetapi subyek yang menggunakan bahasa tidak termasuk dunia, sebab subyek sendiri tidak dapat mengarahkan bahasa pada dirinya sendiri (bahasa tidak dapat berbicara dengan diri sendiri).
            Fungsi teori gambar terletak pada kesesuaian antara unsur-unsur gambar dengan sesuatu dalam realitas. Caranya adalah dengan menggabungkan bagian-bagian proposisi itu sendiri. Unsur- unsur gambar itu adalah alat dalam bahasa seperti kata atau kalimat, sedangkan unsur realitas adalah suatu keadaan faktual yang merupakan objek perbincangan dalam bahasa. Dengan demikian, ada dua faktor utama yang mendukung teori gambar ini yaitu proposisi yang merupakan alat dalam bahasa filsafat dan fakta yang ada dalam realitas. Dan jenis yang paling sederhana dari semua proposisi adalah proposisi elementer. Jika proposisi elementer tidak ada, maka realitas tidak dapat diungkapkan ke dalam bahasa.
                Setiap proposisi –menurut Wittgenstein- pada hakikatnya bersifat benar dan salah. Jadi proposisi selalu punya dua kutub yakni ia mengandung kebenaran jika bersesuaian dengan suatu peristiwa dan mengandung kesalahan jika tidak berkesesuaian dengan suatu peristiwa”.

3.      Konsep Nyata dan Konsep Formal[8]
Wittgenstein bertitik tolak dari kerangka bahasa logika yaitu menjelaskan struktur realitas melalui struktur bahasa yang bersifat logik. Sedangkan  para filsuf terdahulu lebih-lebih   kaum idealis tidak memperhatikan struktur logik dalam ungkapan filsafatnya, sehingga menimbulkan kerancuan dalam bahasa filsafat.
Upaya yang dilakukan oleh Wittgenstein yang bertujuan untuk menunjukkan kerancuan yang terjadi dalam bahasa filsafat adalah membedakan antara konsep nyata (proper concept). Terjadinya kekacauan? kerancuan itu disebabkan oleh pencampuradukan pemakaian konsep formal dan konsep nyata.
Nah, apakah konsep formal itu? Konsep formal itu adalah rangkaian kata yang serupa dengan konsep nyata, namun sebenarnya tidak mengandung struktur logik yang sama. Konsep formal ini hanya merupakan suatu istilah umum dari rangkaian formal yang diungkap melalui suatu variabel (faktor yang selalu berubah-ubah). Dan sebenarnya konsep ini bukan konsep tetapi merupakan suatu nama yang variabelnya  harus diisi oleh yang konsep nyata.
Konsep nyata adalah istilah atau rangkaian kata yang berkaitan langsung dengan realitas. Pegangan metodis untuk menentukan konsep nyata ialah kalau dapat dipahami pengingkaran dan pengiyaan pengucapannya mengenai konsep yang bersangkutan.
Kita dapat menguji suatu istilah yang masuk dalam konsep nyata? Formal dengan menggunakan metode di atas. Setiap konsep nyata mengandung struktur logik dan fungsi nyata, sehingga dapat diperiksa benar atau salahnya  dan sejauh dapat diajukan pengiyaan maupun pengingkaran terhadap suatu pernyataan, maka itu menunjukkan bahwa pernyataaan tersebut termasuk konsep nyata. Dengan kata lain dapatlah kita ibaratkan sebagai “kandungan nilai intrinsik”, sebab kabar realitas terkandung secara implisit di dalamnya; sedngkan “kandungan nilai nominal” sebab belum pasti mengandung kadar realitas, bahkan besar  kemungkinan tidak mengandung kadar realita sama sekali.
Konsep formal dan konsep nyata tidak hanya mengandung perbedaan struktur logik  saja tetapi juga dalam hal sifat yang dikandungnya.

4.      Bahasa Etika dan Agama
Wittgenstein mengatakan bahwa "duniaku sebatas bahasaku". Batas bahasaku menunjukkan batas duniaku. Semua yang dapat dikatakan hanyalah fakta. Dalam hal ini, etika dan agama tidak berbicara mengenai fakta atau data. Wittgenstein menegaskan bahwa makna dunia berada di luar dirinya. Dalam dunia yang ada hanya yang menyatakan dirinya sebagaimana terjadi dan tidak ada nilai di dalam dirinya. Allah tidak mewahyukan diri-Nya dalam dunia. Sungguh sesuatu yang tak terkatakan. Allah menampakkan diri, ini suatu mistik. Manusia tidak mampu mengucapkan Allah karena ia bukan fakta. Di hadapan ketidakmampuan ini, dia mendasarkan:
-Agar dapat menegaskan bahwa makna dunia mesti dicari di luar dirinya, seorang filsuf tidak perlu bimbang bahwa nilai itu ada.
-Akibatnya, bahwa segala sesuatu yang memberi makna pada tanda-tanda yang berada di atas dunia perlu dicari di luar dirinya, juga mengenai hal itu kita perlu diam.
-kendatipun Allah sendiri tidak menyatakan diri dalam dunia tetapi realitas Allah mewahyukan diri lewat dunia, karena fakta dunia ada dan dari fakta tersebut ada bagian yang tak terkatakan.
Pernyataan metafisika, etika, estetika, dan agama tidak mempunyai arti, karena bukan pernyataan faktual. Semua ini bukannya tidak benar, melainkan tidak bermakna. Kita tidak dapat menjawabnya, kita hanya bisa menetapkan ketidakbermaknaan pernyataan itu. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau masalah yang paling mendalam tidak menjadi masalah. Hanya pernyataan ilmu pengetahuan alam-lah yang mempunyai arti. Dalam hal ini, Wittgenstein berbeda pendapat dengan positivisme logis. Positivisme menekankan hal ini sebagai sesuatu yang apriori. Ini sudah merupakan dalil. Namun, bagi Wittgenstein, pernyataan ini didasarkan pada kenyataan bahwa "batas bahasaku berarti batas-batas duniaku". Batas bahasaku menunjukkan batas duniaku. Oleh karena itu, ia menyatakan bahwa 'mengenai yang tidak dapat dikatakan lebih baik diam'
Filsafat merupakan sarana kritis untuk memeriksa pemakaian bahasa, bahkan menjadi terapi bagi pemakaian bahasa yang berlebih-lebihan. Yang diacu Wittgenstein di sini adalah bahasa metafisis. Oleh karena itu, Wittgenstein merupakan filsuf kontemporer yang kritis terhadap metafisika dan mengucapkan Good Bye pada cabang filsafat yang paling tua umurnya ini.


BAB IV
Wittgenstein II: Philosophical Investigation[9]

Pemikiran Wittgenstein yang dituangkannya pada bukunya yang kedua ini terdiri dari banyak contoh yang mudah dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Uraian-uraian pada bukunya yang berjudul Philosophical Investigations jauh lebih mudah dipahami, sebab ia selalu mengarahkan pembahasannya dengan menggunakan bahasa biasa, bukan lagi terutama bertitik-tolak dari bahasa logika. Ada kesan bahwa ia menghindari bahasa logika[10]
Dengan terbitnya buku yang kedua ini, ia tampaknya mengkritik pendapatnya dalam bukunya Tractatus.[11] Dalam buku ini, ia menolak tiga pokok yang dulunya diandaikannya begitu saja dalam teorinya pertama. Ada pun ketiga hal itu, yakni (1) bahwa hanya  untuk satu tujuan saja bahasa digunakan, yaitu untuk menetapkan keadaan-keadaan faktual, (2) bahwa setiap jenis bahasa dapat dirumuskan dalam bahasa logika yang sempurna, kendati pada pandangannya yang pertama sulit untuk dilihat, dan (3) bahwa kalimat-kalimat mendapat maknanya dengan satu cara saja, yaitu dengan meggambarkan suatu keadaan faktual.[12]
Maka, ia menarik pernyataan-pernyataannya itu dengan beralih pendapat. Ia mengatakan bahwa kata-kata dapat dipakai dengan banyak cara. Ia membandingkannya dengan fungsi alat-alat. Setiap alat tidak hanya dapat digunakan untuk satu tujuan saja, tetapi bisa banyak. Tidak mungkin rasanya, kita merumuskan fungsi suatu alat hanya untuk satu cara. Demikian juga halnya dengan bahasa yang kita gunakan dalam hidup.
Sumber yang mengakibatkan bahasa salah dimengerti adalah bahasa sendiri. Maka, makna suatu kata tergantung pada cara digunakannya dalam kalimat, sedangkan makna kalimat tergantung penggunaanya dalam bahasa, sebab kata, kalimat, dan bahasa dapat digunakan dalam berbagai cara. Makna kata itu akan sungguh jelas bila kita telah mengetahui ruang lingkup kata itu digunakan. Namun, kata atau kalimat yang sama digunakan dengan cara yang berbeda akan terdapat kemiripan sifatnya yang umum, bukan mengandung makna yang sama. Pokok-Pokok pikiran tersebut akan menjadi lebih jelas dalam penjelasan berikut ini:

1.       Makna dalam penggunaan (meaning in use)
Masalah bahasa merupakan masalah menggunakan bunyi tertentu. Di luar penggunaan, dalam kenyataannya, sebuah tanda menjadi mati. Sebuah tanda menjadi hidup, bermakna, justru dalam penggunaan. Penggunaan sebuah tanda merupakan nafas kehidupan tanda tersebut.
Makna sebuah kata merupakan objek yang dilambangkannya. Kata menunjukkan sesuatu yang dapat diinderai keberadaannya. Contohnya, kambing, kuda, pohon, kursi. Kata-kata ini bermakna karena menamakan sesuatu. Terdapat banyak kata juga yang menunjukkan benda seperti: ”sudah”, ”boleh”, ”maka”, ”dan”. Jadi, jangan ditanyakan apa arti sebuah kata tetapi bagaimana kata itu digunakan.

2.       Permainan Bahasa (Language games)
Bahasa adalah fenomen yang kompleks. Di dalamnya, terdapat jumlah permainan bahasa yang tidak terhitung. Dengan bahasa yang sama, kita dapat memaparkan sesuatu, memberi perintah, menanyakan, berterima kasih, berdoa, bernyanyi, dst.
Bahasa merupakan alat pertukangan di dalam tas seorang tukang. Tidak ada penggunaan pasti dan ketat tiap-tiap kata (bdk. Alat). Kata-kata merupakan buah catur yang bisa dimainkan ke segala arah.
Ada banyak jenis pemakaian bahasa dan semuanya itu mempunyai kebenaran dan logika sendiri. Suatu jenis bahasa tertentu, yang terdiri dari kata-kata dan aturan pakainya (yaitu tata bahasa) disebut language games. Arti kata hanya bisa dipahami dalam kerangka acuan language games yang dipakai. Satu kata tertentu mempunyai arti yang terus-menerus dapat berubah. Bahasa laboratorium, bahasa pasar, bahasa cinta, bahasa olahraga, bahasa doa merupakan language games khas di mana juga kata-kata mendapat arti yang khas.[13]Beberapa pikiran pokok yang perlu diperhatikan dalam permainan bahasa:
a.       Ada banyak permainan bahasa tetapi tidak ada hakikat yang sama di antara permainan-permainan itu. Esensi setiap permainan berbeda. Setiap permainan menyatakan suatu pernyataan tertentu. Antara permainan-permainan hanya dikenal satu kesamaan keluarga.
b.       Dalam aneka permainan bahasa terdapat kesamaan keluarga. Tidak mungkin menentukan dengan persis batas-batas pemahaman mengenai permainan. Yang mungkin dilakukan adalah melacak batas-batas untuk mengetahui apakah hal itu dapat disebut permainan atau tidak. Batas-batas permainan itu sendiri kabur dan sulit dipahami.
c.        Kendati pun orang tak tahu persis sebuah permainan, tetapi ia tahu apa yang dapat dibuat dengan sebuah permainan. Permainan merupakan sebuah konsep yang sangat halus dan sulit didefinisikan. Kita tidak dapat menjelaskan dengan tuntas konsep permainan. Kita hanya menyampaikan contoh-contoh permainan yang berbeda-beda.



3.       Batas Filsafat[14]
Witgeinstein mengakui adanya keterbatasan pada bidang filsafat. Dikatakan bahwa akal manusia punya keterbatasan, demikian juga filsafat karena merupakan hasil pemikiran manusia. Dengan demikian ia kembali menegaskan bahwa sesuatu yang memang dapat dikalahkan, baiklah ia diungkapkan secara jelas, dan yang tidak jelas baiklah ia didiamkan saja.
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan yaitu yang tak dapat diungkapakan ke dalam sebuah proposisi. Mereka adalah:
a.      subyek   : tidak termasuk dalam lingkup dunia melainkan hanya merupakan  suatu batas dunia.
b.      Kematian :  kematian bukanlah merupakan suatu peristiwa kehidupan, sebab kematian itu bukan merupakan kehidupan yang dijalani.
c.       Allah : Allah tidak menyatakan diri-Nya dalam dunia.

Kita tidak dapat mengungkapkan ketiga hal di atas dalam pernyataan bemakna proposisi – sebab ketiga hal di atas terletak pada batas-batas dunia sehingga tidak terjangkau oleh pemikiran manusia secara logik.
Batasan- batasan akhir pandanga filsafat Witgeinstein; “ mereka yang telah memahami pandangan filsafat saya ini, pada akhirnya akan menjumpai bahwa pernyataan yang terdapat dalam buku Tractatus  sesungguhnya tidak bermakna. Pernyataan tersebut ibarat anak tangga yang harus dibuang karena tidak dibutuhkan lagi – manakala orang yang menggunkannya telah sampai ke atas”.


 

BAB V

PENUTUP


1.       Kesimpulan

Wittgenstein adalah filsuf bahasa yang cemerlang. Pemikiran-pemikirannya masih bisa dirasakan hingga sekarang, khususnya  pemikirannya tentang meaning in use dan language Games-nya. Maka, mempelajari pemikiran Wittgenstein adalah sebuah usaha untuk menyelami gagasan tentang kebermaknaan bahasa. Dengan memahami kebermaknaan bahasa, kita diharapkan semakin terampil dan jeli dalam menggunakan bahasa. Oleh karena itu,  slogan Wittgenstein dalam buku II adalah sesuatu yang cocok untuk menjadi kesimpulan dari  tulisan ini:
“Don’t ask for the meaning, ask for the use!”[15]
               
2.       Refleksi
Pemikiran-pemikiran Wittgenstein adalah sesuatu yang menarik untuk direfleksikan karena apa yang dipikirkannya bisa kita lihat, bahkan kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Berikut adalah beberapa refleksi atas pemikiran Wittgenstein:

Bahasa Etika dan Agama
Diam bila tak tahu dan dunia sebatas bahasaku adalah sebuah nilai yang ditawarkan Wittgenstein dalam poin ini. Apa yang dikatakan Wittgenstein tersebut sangatlah tepat agar kita tidak menjadi seorang pembual melainkan menjadi orang yang mengatakan sesuatu sejauh yang diketahui dan mau memperluas dunianya dengan memperluas wawasan kebahasaannya.

Makna dalam penggunaan
Sebuah kata justru bermakna saat  digunakan. Kata-kata yang tidak digunakan berarti kata-kata itu hanya ada dalam dunia ide dan belum mempunyai pengaruh terhadap siapapun. Kata-kata itu masih berada di dalam dirinya sendiri. Ketika kata-kata digunakan, dia menunjuk pada sesuatu yang dilambangkannya dan dapat mempengaruhi sesuatu. Maka, dengan pemahaman ini, kita bisa mengerti makna kata secara lebih baik, khususnya ketika kita menggunakan kata-kata itu dalam segala kegiatan kita. Kita juga dapat memahami adanya lambang yang terkandung dalam suatu kata dan mampu menggunakan kata sesuai dengan lambang yang terkandung di dalamnya.


Permainan Bahasa
Pandangan Wittgenstein mengenai permainan bahasa menyadarkan kita untuk memahami makna kata dalam konteksnya. Bahasa cinta tidak bisa kita pahami dalam kerangka pikir ilmiah. Sebaliknya, bahasa ilmiah tidak bisa kita pahami dalam kerangka pikir bahasa cinta. Ungkapan “Engkau adalah rembulan yang menghiasi malam-malamku” tidak mungkin kita pahami secara ilmiah karena itu merupakan bahasa cinta dan secara ilmiah, hal itu tidak bermakna. Jadi dalam kehidupan sehari-hari, kita harus memperhatikan pemakaian kata dalam konteksnya atau dalam language games-nya agar kata itu menjadi bermakna.




                [1] F.X. Sutrisno dan F. B. Hardiman, dkk. (ed.), Para Filsuf Penentu Gerak Zaman (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 98.
                [2] F. X. Sutrisno dan F. B. Hardiman, dkk. (ed.), Para Filsuf Penentu..., hlm. 93-94.
                [3]K. Bertens,  Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm.39.
                [4] K. Bertens, Filsafat Barat..., hlm. 40.
[5]F. X. Sutrisno dan F. B. Hardiman, dkk. (ed), Para Filsuf Penentu…, hlm. 95-96.
                [6]K. Bertens,  Filsafat Barat..., hlm. 42.
                [7] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Para Tokohnya (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), hlm. 52-53.
                [8]Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik..., hlm. 60-63.
[9] Sutrisno, F. X. dan Hardiman, F. B., dkk. (ed), Para Filsuf…, hlm. 96-97.
                [10] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik..., hlm. 80-81.
                [11] K. Bertens, Filsafat Barat..., hlm. 47.
                [12]K. Bertens, Filsafat Barat.., hlm. 48
                [13]Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern (Jakarta: Gramedia, 1986), hlm. 139.
                [14]Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik..., hlm. 64-65.
                [15] C.B. Daly, Metaphysics and the Limits of Language, dalam Jan Ramsey (ed.), Pro Spects of Metaphysics, Essay of MetaphysicalExploration (London, 1961), hlm. 179-180. seperti dikutip oleh Adelbert Snijders dalam Manusia dan Kebenaran (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 137-138.

2 komentar:

  1. mohon disederhanakan logika Wittgenstein dengan dasar p dan ~p sebagai fungsi barisan on, off yang looping menikuti denyut ruang intelegensi manusia berpikir pada [0,1]

    BalasHapus
  2. Online casino - Kadang pintar
    Online casino: Play and win with bonus offers and bonuses for casinos. · Play 온카지노 online casinos: All septcasino you have to do is to gamble responsibly and have the worrione best experience

    BalasHapus