LUDWIG WITTGENSTEIN
BAB I
Pendahuluan
“Tugas
filsuf adalah mengadakan klarifikasi aneka penggunaan kata dan mengadakan
verifikasi, apakah penggunaan kata dalam keadaan tertentu itu tepat atau
keliru, bermakna atau tidak”. [1]
Kalimat
tersebut adalah salah satu buah pikiran Wittgenstein. Apa yang terkandung dalam
kalimat tersebut merupakan suatu pemikiran mengenai tugas para filsuf. Penulis
adalah orang-orang yang sedang belajar tentang Logika dan Bahasa sekaligus
mahasiswa filsafat. Maka, pemikiran Wittgenstein tersebut menjadi sebuah daya
tarik untuk semakin memperdalam pemikiran-pemikiran filosofis Wittgensteins
sekaligus menjadi sebuah peyadaran akan tugas seorang filsuf.
Ludwig Wittgenstein adalah salah seorang
filsuf yang menggeluti filsafat bahasa. Dia menggeluti masalah bahasa dan
makna. Dia mengembangkan pemikiran-pemikirannya ini di Inggris. Bidangnya meliputi: analisis atas
kalimat-kalimat atau proposisi-proposisi, dan logika. Oleh karena itu,
filsafatnya ini disebut juga linguistic-analysis. .[2]
Tulisan ini hendak menyajikan beberapa pemikiran Wittgensteins dalam kedua
bukunya dan refleksi atas pemikiran-pemikiran Wittgenstein tersebut.
BAB II
Riwayat Hidup
Ludwig Wittgenstein lahir di Wina-Austria,
26 April 1889 sebagai anak bungsu dari delapan bersaudara. Ayahnya adalah
seorang insinyur yang berasal dari famili Yahudi yang telah memeluk agama
protestantisme, sedangkan ibunya beragama katolik. Musik memegang peranan
penting dalam hidupnya, sebab rumah mereka menjadi semacam pusat musik di Wina.
Ia tahu memainkan klarinet dan pandai bersiul yang membuat banyak orang
tertarik. Pada tahun 1906, ia belajar di Sekolah Tinggi Teknik di Manchester
(Inggris). Ia mulai tertarik pada matematika dan filsafat matematika karena
tuntutan pelajaran teknik pesawat terbang (aeronautika). Pada tahun
1912, ia belajar di Universitas Cambridge tentang filsafat di bawah bimbingan
Betrand Russell. Pada tahun yang sama, ayahnya meninggal, sehingga ia mewarisi
semua harta ayahnya, tetapi ia memberikannya kepada orang lain, yakni para
seniman.
Pada saat perang dunia, ia pulang ke Tanah
Airnya dan menjadi tentara sukarela Austria. Selama itu, dia menulis buku
tentang filsafat yang selesai pada tahun 1918. Ia juga pernah menjadi tawanan
perang Italia yang dibebaskan pada tahun 1919. Tahun 1921 diterbitkan bukunya
berjudul ,”Logich- philosophiche Abhandlungen”.[3]
Dia juga pernah kursus untuk mengambil
ijazah guru, kemudian dia menjadi guru sekolah dasar di pelbagai desa terpencil
di Austria hingga tahun 1926. Lalu, ia menjadi tukang kebun di biara Hutteldorf
selama beberapa waktu. Tahun berikutnya dia membantu arsitek bangunan dan
akhirnya dia sendiri merancang rumah adik perempuannya. Pada tahun 1926,
minatnya untuk belajar filsafat dihidupkan lagi, setelah ia kembali ke
Cambridge. Bukunya yang berjudul Tractatus menjadikannya seorang doktor
filsafat sehingga ia dapat mengajar di Trinity College. Ia banyak mengikuti
diskusi-diskusi dengan orang-orang yang cemerlang pemikirannya, seperti Frank
Ramsey.
Pada tahun 1936, ia meluangkan waktunya
untuk menuliskan pemikiran-pemikirannya yang cemerlang itu, sehingga terbitlah
bukunya yang berjudul Philosopical Investigations. Penampilan bukunya
yang kedua ini cukup berbeda dari yang pertama, yang pertama kali terbit pada
tahun 1953. Tahun 1938, ia menggantikan Moore sebagai profesor di Trinity
College.[4] Ia meninggalkan profesornya untuk
menyelesaikan bukunya yang berjudul Philosopical Investigations
pada tahun 1947. Ia meninggal dunia di Cambridge pada tahun 29 April 1951
akibat serangan kanker.
Dalam perjalanan hidup, Wittgenstein cukup
banyak mengalami depresi psikis sampai-sampai ia hendak bunuh diri beberapa
kali. Sebenarnya, dia selalu diambang penyakit jiwa. Ia sungguh merasa takut
terkena penyakit itu. Maka, ia mencari solusi dengan belajar filsafat dan
mengakuinya bahwa filsafat adalah jalan paling baik untuk mengatasi depresinya.
BAB III
Wittgenstein I: Tractatus
Logico-Philosophicus[5]
Buku ini ditulis oleh Wittgenstein pada
saat terjadi perang. Kendati ia menghadapi situasi yang kurang nyaman,
tetapi ia tetap meluangkan waktunya untuk menuliskan pemikiran-pemikirannya.
Dia mengatakan bahwa buku Tractatus itu acap kali filsafatnya tidak dimengerti
, bahkan oleh murid-muridnya dan juga sahabat-sahabatnya.[6]
Buku ini tidak terlalu panjang, tidak lebih dari 75 halaman. Buku tersebut
telah disusunnya sedemikian rupa. Pernyataan-pernyataannya agak pendek, namun
tidak mudah dimengerti. Hal ini disebabkan karena Wittgenstein kerap menuliskan
kesimpulan pemikiran-pemikirannya tanpa menyebutkan
argumentasi-argumentasi dan alasan-alasan yang menghantarkannya pada kesimpulan
itu. Pemikiran Wittgensteins tersebut juga sulit dibedakan dengan pemikiran
Russell.
Tujuan
bukunya yang pertama adalah untuk memberikan syarat umum bahasa yang bermakna.
“Bagaimanakah seharusnya dunia kalau bahasa harus mempunyai makna tertentu?”
merupakan pertanyaan utama yang digeluti dalam bukunya yang pertama. Beberapa
pemikirannya dalam bukunya ini adalah sebagai berikut:
Witgeinstein dalam merumuskan persoalan filsafat, bertitik tolak pada bahasa
logika. Ia berpendapat bahwa kesalahpahaman mengenai bahasa logika merupakan
benturan besar dalam perumusan persoalan filsafat tersebut. Ia punya
maksud untuk menjernihkan kesalahpahaman yang dibuat oleh para pendahulunya
yaitu tentang struktur logik proposisi, serta kesimpulan logik mengenai
realitas.
Penyebab utama kekacauan bahasa dalam filsafat adalah tidak adanya tolok ukur
yang dapat menentukan apakah suatu ungkapan bermakna atau tidak, maka perlulah
membuat suatu kerangka bahasa yang logis. Dengan demikian, Witgeinstein
menyusun suatu kerangka bahasa logika bagi filsafat.
Proposisi dan persoalan utama yang terdapat dalam filsafat sebelumnya, menurut
Witgeinstein bukanlah salah tetapi lebih menyangkut pemahaman. Dengan perkataan
lain, tidak terfahami. Sudah barang tentu jawaban akan tidak serupa pada suatu
persoalan yang sama. Jadi persoalan itu tetap saja tinggal seperti bentuk
semula karena tidak terfahami.
Persoalan dan proposisi di atas sangat masuk akal karena filsuf-filsuf
terdahulu tidak mengerti bahasa logika. Sesuatu yang tidak logik tentu tidak
dapat kita pikirkan karena hal itu akan membuat kita berfikir tidak logik
pula.
Dengan menggunakan bahasa logika yang sempurna, itu berarti bahwa kita memakai
alat-alat bahasa – kata dan kalimat- secara tepat, sehingga setiap kata hanya
memiliki suatu fungsi tertentu saja dan setiap kalimat hanya mewakili suatu
keadaan faktual saja.
Bahasa logika yang sempurna itu tentu saja mengandung aturan sintaksis sehingga
mencegah ungkapan tidak bermakna, dan mempunyai simbol tunggal yang selalu
bermakna unik dan terbatas.
Jadi, fungsi filsafat menurut Witgeinstein adalah menunjukkan sesuatu yang
tidak dapat dikatakan (atau dipikirkan) dengan menghadirkan secara jelas
sesuatu yang dapat dikatakan. Maka menurut dia, suatu karya filsafat haruslah
mengandung penjelasan sehingga ungkapan-ungkapan yang terkandung di dalamnya
bukan melulu ungkapan-ungkapan filsafat tetapi membuat ungkapan itu menjadi
jelas.
Bagaimana hal itu dilakukan oleh Witgeinstein adalah dengan menentukan
kesesuaian antara struktur bahasa dengan struktur realitas atau lebih dikenal
dengan teori gambar (the picture theory).
2.
Teori Gambar atau
Mosaik
Teori gambar merupakan pandangan yang menganggap adanya hubungan mutlak antara
bahasa dengan realitas atau dunia fakta. Dia berpendapat bahwa bahasa
menggambarkan realitas dan melalui bahasa dapat menggambarkan suatu keadaan
yang faktual dalam realitas. Kita dapat memahami lebih jelas pemahamannya
dengan bertitik-tolak pada kalimat: “apa yang memang dikatakan, dapat dikatakan
dengan jelas dan orang harus berdiam diri tentang suatu hal yang tak bisa
dikatakan”.
Bagi Wittgenstein, unsur mutlak yang diperlukan untuk mendukung sebuah ungkapan
yang bermakna adalah suatu bentuk peristiwa ataupun suatu keadaan yang berdasar
pada fakta.
Menurutnya, sebuah proposisi harus dapat menunjukkan pengertian tertentu
tentang realitas, sehingga seseorang yang dihadapkan pada proposisi seperti itu
hanya perlu mengatakan “ya” atau “tidak” untuk menyetujui realitas yang
dikandungnya. Maka nampaklah bahwa pengertian proposisi semula yang diungkap
oleh Aristoteles dalam lingkup logika kembali dihadirkan oleh Wittgenstein.
Mengapa demikian?
Sebelumnya, pemakaian proposisi disalahgunakan pemakaiannya untuk mengungkapkan
sesuatu yang tak terkatakan sehingga tidak dapat mengatakan “ya” atau
“tidak” terhadap kemungkinan realitas yang dikandungnya. Bagi dia,
pengertian sebuah proposisi terletak pada situasi yang digambarkan atau
dihadirkan di dalamnya.
Bahasa berkonfigurasi sejajar dengan
dunia. Antara keduanya terdapat hubungan yang bersifat biunivok dengan
setiap objek yang difigurkan. Tanpa hubungan ini, bahasa tidak mempunyai arti
atau makna. Menurut teori gambar, sebuah pernyataan yang mempunyai makna perlu
menunjukkan bentuk logis tertentu yang disusun sedemikian rupa, sehingga
nama-nama (kata-kata) yang menyusun perkataan itu dapat berkaitan dengan objek
yang mau diacu oleh nama-nama itu, dalam situasi dimana eksistensi mengakui
pernyataan itu benar. Menurut
Wittgenstein, pernyataan menyampaikan situasi kepada kita. Oleh karena itu,
hal tersebut harus dimasukkan. Caranya adalah dengan gambaran logis. Pernyataan
menyatakan sesuatu hanya dalam ukuran gambar. Tetapi Wittgenstein tidak
berbicara jelas mengenai kriteria makna.
Wittgenstein
berpedapat bahwa bahasa merupakan gambaran dunia, tetapi subyek yang
menggunakan bahasa tidak termasuk dunia, sebab subyek sendiri tidak dapat
mengarahkan bahasa pada dirinya sendiri (bahasa tidak dapat berbicara dengan
diri sendiri).
Fungsi teori gambar terletak pada kesesuaian antara unsur-unsur gambar dengan
sesuatu dalam realitas. Caranya adalah dengan menggabungkan bagian-bagian
proposisi itu sendiri. Unsur- unsur gambar itu adalah alat dalam bahasa seperti
kata atau kalimat, sedangkan unsur realitas adalah suatu keadaan faktual yang
merupakan objek perbincangan dalam bahasa. Dengan demikian, ada dua faktor
utama yang mendukung teori gambar ini yaitu proposisi yang merupakan alat dalam
bahasa filsafat dan fakta yang ada dalam realitas. Dan jenis yang paling
sederhana dari semua proposisi adalah proposisi elementer. Jika proposisi
elementer tidak ada, maka realitas tidak dapat diungkapkan ke dalam bahasa.
Setiap proposisi –menurut Wittgenstein- pada hakikatnya bersifat benar dan
salah. Jadi proposisi selalu punya dua kutub yakni ia mengandung kebenaran jika
bersesuaian dengan suatu peristiwa dan mengandung kesalahan jika tidak
berkesesuaian dengan suatu peristiwa”.
Wittgenstein bertitik tolak dari kerangka
bahasa logika yaitu menjelaskan struktur realitas melalui struktur bahasa yang
bersifat logik. Sedangkan para filsuf terdahulu lebih-lebih
kaum idealis tidak memperhatikan struktur logik dalam ungkapan filsafatnya,
sehingga menimbulkan kerancuan dalam bahasa filsafat.
Upaya yang dilakukan oleh Wittgenstein
yang bertujuan untuk menunjukkan kerancuan yang terjadi dalam bahasa filsafat
adalah membedakan antara konsep nyata (proper concept). Terjadinya
kekacauan? kerancuan itu disebabkan oleh pencampuradukan pemakaian konsep
formal dan konsep nyata.
Nah, apakah konsep formal itu? Konsep
formal itu adalah rangkaian kata yang serupa dengan konsep nyata, namun
sebenarnya tidak mengandung struktur logik yang sama. Konsep formal ini hanya
merupakan suatu istilah umum dari rangkaian formal yang diungkap melalui suatu
variabel (faktor yang selalu berubah-ubah). Dan sebenarnya konsep ini bukan
konsep tetapi merupakan suatu nama yang variabelnya harus diisi oleh yang
konsep nyata.
Konsep nyata adalah istilah atau rangkaian
kata yang berkaitan langsung dengan realitas. Pegangan metodis untuk menentukan
konsep nyata ialah kalau dapat dipahami pengingkaran dan pengiyaan
pengucapannya mengenai konsep yang bersangkutan.
Kita dapat menguji suatu istilah yang
masuk dalam konsep nyata? Formal
dengan menggunakan metode di atas. Setiap konsep nyata mengandung struktur
logik dan fungsi nyata, sehingga dapat diperiksa benar atau salahnya dan
sejauh dapat diajukan pengiyaan maupun pengingkaran terhadap suatu pernyataan,
maka itu menunjukkan bahwa pernyataaan tersebut termasuk konsep nyata. Dengan
kata lain dapatlah kita ibaratkan sebagai “kandungan nilai intrinsik”, sebab
kabar realitas terkandung secara implisit di dalamnya; sedngkan “kandungan
nilai nominal” sebab belum pasti mengandung kadar realitas, bahkan besar
kemungkinan tidak mengandung kadar realita sama sekali.
Konsep formal dan konsep nyata tidak hanya
mengandung perbedaan struktur logik saja tetapi juga dalam hal sifat yang
dikandungnya.
4.
Bahasa Etika dan Agama
Wittgenstein
mengatakan bahwa "duniaku sebatas bahasaku". Batas bahasaku
menunjukkan batas duniaku. Semua yang dapat dikatakan hanyalah fakta. Dalam hal ini, etika dan agama tidak
berbicara mengenai fakta atau data. Wittgenstein menegaskan bahwa makna dunia
berada di luar dirinya. Dalam dunia yang ada hanya yang menyatakan dirinya
sebagaimana terjadi dan tidak ada nilai di dalam dirinya. Allah tidak
mewahyukan diri-Nya dalam dunia. Sungguh sesuatu yang tak terkatakan. Allah
menampakkan diri, ini suatu mistik. Manusia tidak mampu mengucapkan Allah
karena ia bukan fakta. Di hadapan ketidakmampuan ini, dia mendasarkan:
-Agar dapat
menegaskan bahwa makna dunia mesti dicari di luar dirinya, seorang filsuf tidak
perlu bimbang bahwa nilai itu ada.
-Akibatnya,
bahwa segala sesuatu yang memberi makna pada tanda-tanda yang berada di atas
dunia perlu dicari di luar dirinya, juga mengenai hal itu kita perlu diam.
-kendatipun
Allah sendiri tidak menyatakan diri dalam dunia tetapi realitas Allah
mewahyukan diri lewat dunia, karena fakta dunia ada dan dari fakta tersebut ada
bagian yang tak terkatakan.
Pernyataan metafisika, etika, estetika,
dan agama tidak mempunyai arti, karena bukan pernyataan faktual. Semua ini
bukannya tidak benar, melainkan tidak bermakna. Kita tidak dapat menjawabnya,
kita hanya bisa menetapkan ketidakbermaknaan pernyataan itu. Oleh karena itu,
tidak mengherankan kalau masalah yang paling mendalam tidak menjadi masalah.
Hanya pernyataan ilmu pengetahuan alam-lah yang mempunyai arti. Dalam hal ini,
Wittgenstein berbeda pendapat dengan positivisme logis. Positivisme menekankan
hal ini sebagai sesuatu yang apriori. Ini sudah merupakan dalil. Namun, bagi
Wittgenstein, pernyataan ini didasarkan pada kenyataan bahwa "batas
bahasaku berarti batas-batas duniaku". Batas bahasaku menunjukkan batas
duniaku. Oleh karena itu, ia menyatakan bahwa 'mengenai yang tidak dapat
dikatakan lebih baik diam'
Filsafat merupakan sarana kritis untuk
memeriksa pemakaian bahasa, bahkan menjadi terapi bagi pemakaian bahasa yang
berlebih-lebihan. Yang diacu Wittgenstein di sini adalah bahasa metafisis. Oleh
karena itu, Wittgenstein merupakan filsuf kontemporer yang kritis terhadap
metafisika dan mengucapkan Good Bye pada cabang filsafat yang paling tua
umurnya ini.
BAB IV
Pemikiran Wittgenstein yang dituangkannya
pada bukunya yang kedua ini terdiri dari banyak contoh yang mudah dijumpai
dalam kehidupan sehari-hari. Uraian-uraian pada bukunya yang berjudul Philosophical
Investigations jauh lebih mudah dipahami, sebab ia selalu mengarahkan
pembahasannya dengan menggunakan bahasa biasa, bukan lagi terutama
bertitik-tolak dari bahasa logika. Ada kesan bahwa ia menghindari bahasa logika[10]
Dengan terbitnya buku yang kedua ini, ia
tampaknya mengkritik pendapatnya dalam bukunya Tractatus.[11] Dalam buku ini, ia menolak tiga pokok
yang dulunya diandaikannya begitu saja dalam teorinya pertama. Ada pun ketiga
hal itu, yakni (1) bahwa hanya untuk satu tujuan saja bahasa digunakan,
yaitu untuk menetapkan keadaan-keadaan faktual, (2) bahwa setiap jenis bahasa
dapat dirumuskan dalam bahasa logika yang sempurna, kendati pada pandangannya
yang pertama sulit untuk dilihat, dan (3) bahwa kalimat-kalimat mendapat
maknanya dengan satu cara saja, yaitu dengan meggambarkan suatu keadaan
faktual.[12]
Maka, ia menarik pernyataan-pernyataannya
itu dengan beralih pendapat. Ia mengatakan bahwa kata-kata dapat dipakai dengan
banyak cara. Ia membandingkannya dengan fungsi alat-alat. Setiap alat tidak
hanya dapat digunakan untuk satu tujuan saja, tetapi bisa banyak. Tidak mungkin
rasanya, kita merumuskan fungsi suatu alat hanya untuk satu cara. Demikian juga
halnya dengan bahasa yang kita gunakan dalam hidup.
Sumber yang mengakibatkan bahasa salah
dimengerti adalah bahasa sendiri. Maka, makna suatu kata tergantung pada cara
digunakannya dalam kalimat, sedangkan makna kalimat tergantung penggunaanya
dalam bahasa, sebab kata, kalimat, dan bahasa dapat digunakan dalam berbagai
cara. Makna kata itu akan sungguh jelas bila kita telah mengetahui ruang
lingkup kata itu digunakan. Namun, kata atau kalimat yang sama digunakan dengan
cara yang berbeda akan terdapat kemiripan sifatnya yang umum, bukan mengandung
makna yang sama. Pokok-Pokok pikiran tersebut akan menjadi lebih jelas dalam
penjelasan berikut ini:
1.
Makna dalam penggunaan (meaning in use)
Masalah bahasa merupakan masalah menggunakan bunyi tertentu. Di luar
penggunaan, dalam kenyataannya, sebuah tanda menjadi mati. Sebuah tanda menjadi
hidup, bermakna, justru dalam penggunaan. Penggunaan sebuah tanda merupakan
nafas kehidupan tanda tersebut.
Makna sebuah kata merupakan
objek yang dilambangkannya. Kata menunjukkan sesuatu yang dapat diinderai
keberadaannya. Contohnya, kambing, kuda, pohon, kursi. Kata-kata ini bermakna
karena menamakan sesuatu. Terdapat banyak kata juga yang menunjukkan benda
seperti: ”sudah”, ”boleh”, ”maka”, ”dan”. Jadi, jangan ditanyakan apa arti
sebuah kata tetapi bagaimana kata itu digunakan.
2.
Permainan Bahasa (Language games)
Bahasa adalah fenomen yang kompleks. Di
dalamnya, terdapat jumlah permainan bahasa yang tidak terhitung. Dengan bahasa
yang sama, kita dapat memaparkan sesuatu, memberi perintah, menanyakan,
berterima kasih, berdoa, bernyanyi, dst.
Bahasa merupakan alat pertukangan di dalam
tas seorang tukang. Tidak ada penggunaan pasti dan ketat tiap-tiap kata (bdk.
Alat). Kata-kata merupakan buah catur yang bisa dimainkan ke segala arah.
Ada banyak jenis pemakaian bahasa dan
semuanya itu mempunyai kebenaran dan logika sendiri. Suatu jenis bahasa
tertentu, yang terdiri dari kata-kata dan aturan pakainya (yaitu tata bahasa)
disebut language games. Arti kata hanya bisa dipahami dalam kerangka
acuan language games yang dipakai. Satu kata tertentu mempunyai arti
yang terus-menerus dapat berubah. Bahasa laboratorium, bahasa pasar, bahasa
cinta, bahasa olahraga, bahasa doa merupakan language games khas di mana
juga kata-kata mendapat arti yang khas.[13]Beberapa pikiran pokok yang perlu
diperhatikan dalam permainan bahasa:
a.
Ada banyak permainan
bahasa tetapi tidak ada hakikat yang sama di antara permainan-permainan itu.
Esensi setiap permainan berbeda. Setiap permainan menyatakan suatu pernyataan tertentu. Antara
permainan-permainan hanya dikenal satu kesamaan keluarga.
b.
Dalam aneka permainan
bahasa terdapat kesamaan keluarga. Tidak mungkin menentukan dengan persis
batas-batas pemahaman mengenai permainan. Yang mungkin dilakukan adalah melacak
batas-batas untuk mengetahui apakah hal itu dapat disebut permainan atau tidak.
Batas-batas permainan itu sendiri kabur dan sulit dipahami.
c.
Kendati pun orang tak tahu persis sebuah permainan, tetapi ia tahu
apa yang dapat dibuat dengan sebuah permainan. Permainan merupakan sebuah konsep yang sangat halus dan sulit
didefinisikan. Kita tidak dapat menjelaskan dengan tuntas konsep permainan.
Kita hanya menyampaikan contoh-contoh permainan yang berbeda-beda.
Witgeinstein
mengakui adanya keterbatasan pada bidang filsafat. Dikatakan bahwa akal manusia
punya keterbatasan, demikian juga filsafat karena merupakan hasil pemikiran
manusia. Dengan demikian ia kembali menegaskan bahwa sesuatu yang memang dapat
dikalahkan, baiklah ia diungkapkan secara jelas, dan yang tidak jelas baiklah
ia didiamkan saja.
Ada tiga hal yang perlu
diperhatikan yaitu yang tak dapat diungkapakan ke dalam sebuah proposisi.
Mereka adalah:
a.
subyek :
tidak termasuk dalam lingkup dunia melainkan hanya merupakan suatu batas
dunia.
b.
Kematian : kematian
bukanlah merupakan suatu peristiwa kehidupan, sebab kematian itu bukan
merupakan kehidupan yang dijalani.
c.
Allah : Allah tidak
menyatakan diri-Nya dalam dunia.
Kita tidak dapat mengungkapkan ketiga hal
di atas dalam pernyataan bemakna proposisi – sebab ketiga hal di atas
terletak pada batas-batas dunia sehingga tidak terjangkau oleh pemikiran
manusia secara logik.
Batasan- batasan akhir pandanga filsafat
Witgeinstein; “ mereka yang telah memahami pandangan filsafat saya ini, pada
akhirnya akan menjumpai bahwa pernyataan yang terdapat dalam buku Tractatus sesungguhnya
tidak bermakna. Pernyataan tersebut ibarat anak tangga yang harus dibuang
karena tidak dibutuhkan lagi – manakala orang yang menggunkannya telah sampai
ke atas”.
BAB V
PENUTUP
1. Kesimpulan
Wittgenstein
adalah filsuf bahasa yang cemerlang. Pemikiran-pemikirannya masih bisa
dirasakan hingga sekarang, khususnya pemikirannya tentang meaning in
use dan language Games-nya. Maka, mempelajari pemikiran Wittgenstein
adalah sebuah usaha untuk menyelami gagasan tentang kebermaknaan bahasa. Dengan
memahami kebermaknaan bahasa, kita diharapkan semakin terampil dan jeli dalam
menggunakan bahasa. Oleh karena itu, slogan Wittgenstein dalam buku II
adalah sesuatu yang cocok untuk menjadi kesimpulan dari tulisan ini:
“Don’t ask for the meaning, ask for the use!”[15]
2.
Refleksi
Pemikiran-pemikiran
Wittgenstein adalah sesuatu yang menarik untuk direfleksikan karena apa yang
dipikirkannya bisa kita lihat, bahkan kita terapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Berikut adalah beberapa refleksi atas pemikiran Wittgenstein:
Bahasa
Etika dan Agama
Diam
bila tak tahu dan dunia sebatas bahasaku adalah sebuah nilai yang ditawarkan
Wittgenstein dalam poin ini. Apa yang dikatakan Wittgenstein tersebut sangatlah
tepat agar kita tidak menjadi seorang pembual melainkan menjadi orang yang
mengatakan sesuatu sejauh yang diketahui dan mau memperluas dunianya dengan
memperluas wawasan kebahasaannya.
Makna dalam penggunaan
Sebuah
kata justru bermakna saat digunakan. Kata-kata yang tidak digunakan
berarti kata-kata itu hanya ada dalam dunia ide dan belum mempunyai pengaruh
terhadap siapapun. Kata-kata itu
masih berada di dalam dirinya sendiri. Ketika kata-kata digunakan, dia menunjuk
pada sesuatu yang dilambangkannya dan dapat mempengaruhi sesuatu. Maka, dengan
pemahaman ini, kita bisa mengerti makna kata secara lebih baik, khususnya
ketika kita menggunakan kata-kata itu dalam segala kegiatan kita. Kita juga
dapat memahami adanya lambang yang terkandung dalam suatu kata dan mampu
menggunakan kata sesuai dengan lambang yang terkandung di dalamnya.
Permainan
Bahasa
Pandangan
Wittgenstein mengenai permainan bahasa menyadarkan kita untuk memahami makna
kata dalam konteksnya. Bahasa cinta tidak bisa kita pahami dalam kerangka pikir
ilmiah. Sebaliknya, bahasa ilmiah tidak bisa kita pahami dalam kerangka pikir
bahasa cinta. Ungkapan “Engkau adalah rembulan yang menghiasi malam-malamku”
tidak mungkin kita pahami secara ilmiah karena itu merupakan bahasa cinta dan
secara ilmiah, hal itu tidak bermakna. Jadi dalam kehidupan sehari-hari, kita
harus memperhatikan pemakaian kata dalam konteksnya atau dalam language
games-nya agar kata itu menjadi bermakna.
[1] F.X. Sutrisno dan F. B. Hardiman, dkk. (ed.), Para Filsuf Penentu Gerak
Zaman (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 98.
[7] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Para
Tokohnya (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), hlm. 52-53.
[15] C.B. Daly, Metaphysics and the Limits of Language, dalam Jan Ramsey
(ed.), Pro Spects of Metaphysics, Essay of MetaphysicalExploration
(London, 1961), hlm. 179-180. seperti dikutip oleh Adelbert Snijders dalam Manusia
dan Kebenaran (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 137-138.
mohon disederhanakan logika Wittgenstein dengan dasar p dan ~p sebagai fungsi barisan on, off yang looping menikuti denyut ruang intelegensi manusia berpikir pada [0,1]
BalasHapusOnline casino - Kadang pintar
BalasHapusOnline casino: Play and win with bonus offers and bonuses for casinos. · Play 온카지노 online casinos: All septcasino you have to do is to gamble responsibly and have the worrione best experience